Beberapa bulan kemudian, perkebunan Tuan Epps sudah kembali seperti semula. Para budak kembali ke tempat mereka. Patsy yang bukan lagi ratu ladang, sedang menyapu di halaman. Ia menyambut kedatangan kembali rombongan budak dengan pipi prnuh luka dan mata memerah bengkak. Sepertinya kekejaman Nyonya Epps belum berakhir kepadanya. Ada budak perempuan kecil di sana. Sepertinya baru beli. Ia sangat disayang Tuan Epps, digendong ke mana-mana.
Para budak memanen kapas seperti biasanya. Ada tambahan anggota budak lagi di sini, namanya Armsby (Garret Dillahunt), orang kulit putih. Ia menjadi budak karena pemabuk dan banyak hutang hingga dirinya sendiri yang harus dijual. Sama seperti Platt, ia sering dicambuk karena menghasilkan sedikit panen. Ia bercerita bahwa dulunya ia adalah pengawas perkebunan. Ia juga sering merasa bersalah jika tiap hari harus mabuk-mabukan. Makanya ia sering melarikan diri pada minuman keras. Platt merasa Armsby bisa membantunya keluar dari statusnya. Maka, ia pun mengambil kertas yang ia ambil dulu, membuat kesepakatan dengan koin bayaran yang ia punya, meminta Armsby untuk mengirimkan surat yang ia tulis ke New York. Armsby berjanji akan melakukannya, menyuruhnya menulis suratnya dan menemuinya dua hari lagi. Platt sangat lega mendengarnya. Ia menyiapkan tinta buatannya sendiri dan mulai menulis secara sembunyi-sembunyi.
Akan tetapi, ternyata Armby menghianatinya. Ia melaporkan hal itu pada Tuan Epps untuk mencari muka. Tentu saja Tuan Epps murka. Tengah malam, Platt dibangunkan dan diinterogasi Tuannya yang khawatir ia akan melarikan diri. Dengan diplomatis, Platt berkata bahwa apa yang Armsby katakana itu hanyalah bohong belaka. Dengan fakta bahwa Platt tidak mungkin punya kertas dan tinta, dengan tambahan Armsby adalah budak kulit putih dan berniat menjadi pengawas, pemabuk pula, Tuan Epps pun lebih mempercayai Platt yang cenderung tak akan berani berbohong. Platt menghela nafas lega saat Tuan Epps meninggalkannya. Dengan berat hati, ia membakar kertas yang ia miliki satu-satunya, melihat sampai akhir kertas itu berubah menjadi abu, menghanguskan seluruh harapannya.
Suatu hari saat memanen kapas, ada seorang budak tua yang meninggal dunia. Platt menguburkannya di kebun belakang bersama beberapa budak lain. Hanya beberapa patah kata sederhana yang mengiringi penguburan itu. Upacara penghormatan dilakukan dengan nyanyian bersama budak yang lainnya. Sementara yang lain bernyanyi dengan khidmat, Platt justru setengah menangis, campuran antara marah dan kesal, menyadari kemungkinan dirinya pun akan berakhir seperti ini, tanpa punya kesempatan untuk bertemu dengan keluarganya lagi. Ekspresinya luar biasa sekali.
Kegiatan berlangsung seperti biasanya setelah itu. Platt saat ini ditugaskan untuk membuat sebuah gazebo. Ia senang mempraktekan kemahirannya kembali. Ia ditemani seorang pekerja, tukang kayu juga bernama Bass (Brad Pitt) yang berasal dari Kanada. Bass terkejut saat Platt menyahuti ceritanya tentang Kanada. Bass adalah kebalikan dari Epps. Ia tidak menyukai perbudakan, bahkan menentangnya. Melihat gelagat seperti itu, Platt pun mencoba mencari kemungkinan lagi. Ia meminta tolong pada Bass agar menuliskan surat untuknya, dan mengirimkannya pada seseorang yang ia kenal. Bass merasa hal itu sangat sulit, namun ia berjanji akan mengusahakannya. Platt tidak terlalu berharap banyak pada kemungkinan kali ini.
Suatu hari, Tuan Epps sangat marah sekali ketika tak bisa menemukan Patsy di mana-mana. Tak ada yang tahu kepergiannya. Begitu Patsy datang, ia langsung memarahinya. Ia tak percaya pada keterangan Patsy bahwa ia hanya meminta sabun kepada Nyonya Shaw, karena Nyonya Epps tak pernah memberikan padanya. Tubuhnya terlalu bau karena ia bekerja lebih keras daripada yang lainnya. Lagi pula ini adalah hari Sabath, ia berhak berdoa pada Tuhannya. Tuan Epps yang terlanjur marah, meminta Patsy untuk diikat dipohon dan dicambuki. Ia meminta Platt yang melakukannya. Tentu saja Platt melakukannya dengan pelan-pelan. Nyonya Epps mengompori suaminya bahwa Platt hanya pura-pura mencambuk. Tidak ada luka dipunggung Patsy, katanya. Lah, dulu pas suaminya bertengkar di hari Sabath, dimaki-maki. Sekarang, demi dendam pribadi, jadi tidak apa-apa, gitu? Monster deh mereka semua.
Dengan ancaman pistol dan pembunuhan pada seluruh budak, Platt pun mencambuk lebih keras. Darah memuncrat tiap kali cambukan. Teriakan Patsy semakin mengenaskan. Platt mencambuk sambil menangis. Ia tak tahan lagi dan berhenti. Tuan Epps merebut cambuk dari Platt dan melanjutkan hukuman itu sampai Patsy tak sadarkan diri dan ambruk ke tanah. Aku tidak berani memajang lukanya di sini, terlalu waw untuk dibayangkan. Kulit super koyak di sekujur punggung, tak mampu kubayangkan rasa sakitnya. Para budak wanita mengobati luka Patsy dengan menangis. Mereka pun putus asa karena tak mampu melakukan apapun. Platt yang sangat marah, menyepi di pinggir rawa, hendak memainkan biolanya. Tapi biola itu sudah terlalu tua, tak lagi bisa dimainkan. Senarnya putus saat Platt menyetelnya. Platt pun semakin marah dan menghancurkan biolanya.
Platt dan Bass melanjutkan pekerjaan membuat Gazebo. Ia meminta tolong sekali lagi agar Bass mau menolongnya. Ia bercerita tentang penculikannya. Setelah ini, Bass harus kembali lagi ke Kanada. Hingga suatu hari setelah lama sepeninggal Bass dari perkebunan itu, ada seorang Sherif yang menyerukan nama Solomon Northup. Sheriff itu membawa seseorang di kereta kudanya. Awalnya, Platt hampir lupa dengan namanya. Ia senang sekali ada yang mengenalnya. Sheriff itu bertanya beberapa hal untuk mengkonfirmasi identitasnya. Tentu saja Solomon menjawab semuanya dengan tepat. Lalu, ia diminta untuk mengenali seseorang di kereta kuda. Ia Tuan Parker, pemilik toko langganan Solomon dan keluarga dulu. Tuan Epps keluar rumah mendengar keributan itu. Ia tidak terima budaknya hendak diambil. Tapi, Sheriff mengancam dengan hukum, karena Solomon punya bukti kuat bahwa ia adalah manusia merdeka. Solomon pergi dari perkebunan itu dalam keadaan seperti mimpi, diiringi tangisan Patsy yang merasa kehilangan, dan makian Tuan Epps yang terdengar di kejauhan.
Solomon kembali ke rumahnya dulu di Saratoga Spring. Kedua anaknya sudah besar, sudah menikah. Ia bahkan sudah punya cucu. Tetapi istrinya sepertinya sudah tiada. Sejak saat itu, ia memperjuangkan kasus penculikannya, namun hukum Negara itu masih membela orang kulit putih dan membebaskan para penculiknya. Ia juga terus membantu para budak pelarian untuk mendapatkan kebebasan. Tak ada yang tahu pasti tentang kematian Solomon Northup, orang yang penuh inspirasi dalam film ini.
Para budak memanen kapas seperti biasanya. Ada tambahan anggota budak lagi di sini, namanya Armsby (Garret Dillahunt), orang kulit putih. Ia menjadi budak karena pemabuk dan banyak hutang hingga dirinya sendiri yang harus dijual. Sama seperti Platt, ia sering dicambuk karena menghasilkan sedikit panen. Ia bercerita bahwa dulunya ia adalah pengawas perkebunan. Ia juga sering merasa bersalah jika tiap hari harus mabuk-mabukan. Makanya ia sering melarikan diri pada minuman keras. Platt merasa Armsby bisa membantunya keluar dari statusnya. Maka, ia pun mengambil kertas yang ia ambil dulu, membuat kesepakatan dengan koin bayaran yang ia punya, meminta Armsby untuk mengirimkan surat yang ia tulis ke New York. Armsby berjanji akan melakukannya, menyuruhnya menulis suratnya dan menemuinya dua hari lagi. Platt sangat lega mendengarnya. Ia menyiapkan tinta buatannya sendiri dan mulai menulis secara sembunyi-sembunyi.
Akan tetapi, ternyata Armby menghianatinya. Ia melaporkan hal itu pada Tuan Epps untuk mencari muka. Tentu saja Tuan Epps murka. Tengah malam, Platt dibangunkan dan diinterogasi Tuannya yang khawatir ia akan melarikan diri. Dengan diplomatis, Platt berkata bahwa apa yang Armsby katakana itu hanyalah bohong belaka. Dengan fakta bahwa Platt tidak mungkin punya kertas dan tinta, dengan tambahan Armsby adalah budak kulit putih dan berniat menjadi pengawas, pemabuk pula, Tuan Epps pun lebih mempercayai Platt yang cenderung tak akan berani berbohong. Platt menghela nafas lega saat Tuan Epps meninggalkannya. Dengan berat hati, ia membakar kertas yang ia miliki satu-satunya, melihat sampai akhir kertas itu berubah menjadi abu, menghanguskan seluruh harapannya.
Suatu hari saat memanen kapas, ada seorang budak tua yang meninggal dunia. Platt menguburkannya di kebun belakang bersama beberapa budak lain. Hanya beberapa patah kata sederhana yang mengiringi penguburan itu. Upacara penghormatan dilakukan dengan nyanyian bersama budak yang lainnya. Sementara yang lain bernyanyi dengan khidmat, Platt justru setengah menangis, campuran antara marah dan kesal, menyadari kemungkinan dirinya pun akan berakhir seperti ini, tanpa punya kesempatan untuk bertemu dengan keluarganya lagi. Ekspresinya luar biasa sekali.
Kegiatan berlangsung seperti biasanya setelah itu. Platt saat ini ditugaskan untuk membuat sebuah gazebo. Ia senang mempraktekan kemahirannya kembali. Ia ditemani seorang pekerja, tukang kayu juga bernama Bass (Brad Pitt) yang berasal dari Kanada. Bass terkejut saat Platt menyahuti ceritanya tentang Kanada. Bass adalah kebalikan dari Epps. Ia tidak menyukai perbudakan, bahkan menentangnya. Melihat gelagat seperti itu, Platt pun mencoba mencari kemungkinan lagi. Ia meminta tolong pada Bass agar menuliskan surat untuknya, dan mengirimkannya pada seseorang yang ia kenal. Bass merasa hal itu sangat sulit, namun ia berjanji akan mengusahakannya. Platt tidak terlalu berharap banyak pada kemungkinan kali ini.
Suatu hari, Tuan Epps sangat marah sekali ketika tak bisa menemukan Patsy di mana-mana. Tak ada yang tahu kepergiannya. Begitu Patsy datang, ia langsung memarahinya. Ia tak percaya pada keterangan Patsy bahwa ia hanya meminta sabun kepada Nyonya Shaw, karena Nyonya Epps tak pernah memberikan padanya. Tubuhnya terlalu bau karena ia bekerja lebih keras daripada yang lainnya. Lagi pula ini adalah hari Sabath, ia berhak berdoa pada Tuhannya. Tuan Epps yang terlanjur marah, meminta Patsy untuk diikat dipohon dan dicambuki. Ia meminta Platt yang melakukannya. Tentu saja Platt melakukannya dengan pelan-pelan. Nyonya Epps mengompori suaminya bahwa Platt hanya pura-pura mencambuk. Tidak ada luka dipunggung Patsy, katanya. Lah, dulu pas suaminya bertengkar di hari Sabath, dimaki-maki. Sekarang, demi dendam pribadi, jadi tidak apa-apa, gitu? Monster deh mereka semua.
Dengan ancaman pistol dan pembunuhan pada seluruh budak, Platt pun mencambuk lebih keras. Darah memuncrat tiap kali cambukan. Teriakan Patsy semakin mengenaskan. Platt mencambuk sambil menangis. Ia tak tahan lagi dan berhenti. Tuan Epps merebut cambuk dari Platt dan melanjutkan hukuman itu sampai Patsy tak sadarkan diri dan ambruk ke tanah. Aku tidak berani memajang lukanya di sini, terlalu waw untuk dibayangkan. Kulit super koyak di sekujur punggung, tak mampu kubayangkan rasa sakitnya. Para budak wanita mengobati luka Patsy dengan menangis. Mereka pun putus asa karena tak mampu melakukan apapun. Platt yang sangat marah, menyepi di pinggir rawa, hendak memainkan biolanya. Tapi biola itu sudah terlalu tua, tak lagi bisa dimainkan. Senarnya putus saat Platt menyetelnya. Platt pun semakin marah dan menghancurkan biolanya.
Platt dan Bass melanjutkan pekerjaan membuat Gazebo. Ia meminta tolong sekali lagi agar Bass mau menolongnya. Ia bercerita tentang penculikannya. Setelah ini, Bass harus kembali lagi ke Kanada. Hingga suatu hari setelah lama sepeninggal Bass dari perkebunan itu, ada seorang Sherif yang menyerukan nama Solomon Northup. Sheriff itu membawa seseorang di kereta kudanya. Awalnya, Platt hampir lupa dengan namanya. Ia senang sekali ada yang mengenalnya. Sheriff itu bertanya beberapa hal untuk mengkonfirmasi identitasnya. Tentu saja Solomon menjawab semuanya dengan tepat. Lalu, ia diminta untuk mengenali seseorang di kereta kuda. Ia Tuan Parker, pemilik toko langganan Solomon dan keluarga dulu. Tuan Epps keluar rumah mendengar keributan itu. Ia tidak terima budaknya hendak diambil. Tapi, Sheriff mengancam dengan hukum, karena Solomon punya bukti kuat bahwa ia adalah manusia merdeka. Solomon pergi dari perkebunan itu dalam keadaan seperti mimpi, diiringi tangisan Patsy yang merasa kehilangan, dan makian Tuan Epps yang terdengar di kejauhan.
Solomon kembali ke rumahnya dulu di Saratoga Spring. Kedua anaknya sudah besar, sudah menikah. Ia bahkan sudah punya cucu. Tetapi istrinya sepertinya sudah tiada. Sejak saat itu, ia memperjuangkan kasus penculikannya, namun hukum Negara itu masih membela orang kulit putih dan membebaskan para penculiknya. Ia juga terus membantu para budak pelarian untuk mendapatkan kebebasan. Tak ada yang tahu pasti tentang kematian Solomon Northup, orang yang penuh inspirasi dalam film ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar