Senin, 22 Juli 2013

Life of Pi part 10 (final)


Pi di bawa ke rumah sakit terdekat. Ia menjelaskan pada Yann Martell mengapa ia menangis. Ia menyesali setiap perpisahan yang tak sempat ia ucapkan selamat tinggal. Ia juga ingin menyampaikan rasa terima kasihnya pada ayahnya yang telah memberinya banyak pelajaran yang sangat berharga untuk bertahan hidup. Namun semua itu sudah terlambat. Ia tidak punya kesempatan.




Pi menunjukkan dokumen penyelidikan dari pihak asuransi kapal Tsimtsum. Dua orang Jepang mengunjunginya di rumah sakit di Meksiko. Mereka menanyakan penyebab kapal tenggelam. Pi pun menceritakan ceritanya dari awal sampai akhir. Mereka tidak percaya dan kelihatan tidak suka dengan cerita tidak masuk akal tentang harimau benggala dan pulau carnivora, karena itu tidak ada hubungannya dengan penyebab kapal tenggelam. Pi pun menceritakan cerita lain yang tanpa hewan dan pulau fantastik. Ini versi bukunya:

Aku berusaha sekuat mungkin untuk terus berenang. Baru kali ini aku berenang secepat dan sekalut itu. Akhirnya aku berhasil naik ke sekoci. Di sana sudah ada tukang masak kapal dan seorang kapten kapal yang dari Taiwan. Tukang masak itu melemparkan pelampung padaku dan membantuku naik. Kami melihat kapal tenggelam begitu cepat. Aku melihat ibuku selamat berkat tumpukan pisang yang mengambang. Kami pun menaikkannya ke sekoci. Ternyata kapten kapal itu patah kakinya. Patah di bagian tulang paha dan patahannya mencuat keluar menembus daging. Kami mengarungi samudra dengan perbekalan yang cukup untuk beberapa hari berharap akan ada pertolongan yang datang.  Dua hari berlalu, aku dan ibuku sudah lemas karena mabuk laut. Kapten kapal terus mengerang dan merintih dalam  bahasa yang tidak kami mengerti. Ibuku terus merawat lukanya sejak awal. Tukang masak sering marah-marah tak karuan. Pada suatu hari, ibuku mendapati kalau persediaan biscuit habis, padahal semalam masih ada. Tukang masak mengaku memakannya. Ibupun marah mendengarnya. Tapi kemarahannya mendiam saat ia tahu akupun semalam ikut memakannya. Kamipun berdamai kembali. 

Luka kapten kapal mulai membusuk. P3K kami hanya seadanya. Banyak lalat mengerubuti lukanya. Ibu membersihkan nanahnya setiap hari. Tukang masak membisiki kami bahwa luka itu telah terinfeksi, dan bisa menular pada kami. Kami harus memotongnya, demi si kapten dan demi kami sendiri. Aku dan ibu memegangi si kapten agar tidak berontak saat eksekusi. Tukang masak bertindak efisien memotong kakinya sebatas paha. Teriakannya seperti hewan yang disembelih. Darah muncrat ke mana-mana. Ajaibnya, kapten kapal itu tidak pingsan. Kami mengikat luka potongannya dengan kain kuat –kuat. Ibuku langsung menjauh, tidak tega melihatnya. Tukang masak itu masih tetap sadar. Ia merintih, menangis dan meracau. Tak bisa kubayangkan betapa dahsyatnya rasa sakit yang ia tahankan. Malam berikutnya, ia meninggal di pelukan ibu. Meninggal dalam sunyi dan diam. Rintihan dan raungannya berhenti. Sekoci pun senyap. Paginya, aku hendak membuang  potongan kaki kapten kapal karena baunya sangat busuk. Tapi tukang masak melarangku. Ia ingin menjadikannya umpan untuk memancing. Ibuku marah mendengarnya dan mengatainya biadab. Tukang masak itu tak peduli. Ia mulai menyayat daging potongan kaki itu, tapi marah-marah karena dagingnya sudah busuk dan hancur begitu masuk air. Kaki itupun dilemparnya ke laut. Kalap, ia mencincang tubuh kapten kapal untuk dijadikan umpan. Aku dan ibuku menyingkir dengan ngeri. Persediaan makanan kami memang habis. Dengan umpan tubuh kapten kapal itu, tukang masak memberi kami makan penyu, hiu dan ikan-ikan lain. Ibu pun mulai berbaikan dengannya. Bagaimanapun, ia menjaga kami tetap hidup.

Suatu hari, ketika akan memancing, ibu melihat tukang masak itu tidak hanya menaruh irisan daging kapten kapal di ujung kail, tapi juga memasukkannya ke mulutnya. Ibuku jijik melihatnya. Ia tidak menyangka bahwa tukang masak itu akan tega memakan daging manusia. Dengan entengnya, tukang masak itu hanya menjawab bahwa rasanya mirip daging babi. Ibu pun marah sekali dan menamparnya. Mereka bertengkar hebat. Ibu menyuruhku lompat ke rakit yang dibuat tukang masak untuk mempermudahnya memancing. Aku pun lompat. Aku melihat ibu di banting ke lantai sekoci oleh tukang masak yang mengacungkan pisau. Sekilas kulihat pisau itu sudah berlumuran darah. Aku shock dan ngeri, hanya bisa meringkuk ketakutan di rakit. Tiba-tiba, tukang masak itu melemparkan sesuatu padaku. Kepala ibuku. Aku terkesiap dan melemparnya begitu saja ke laut. Rambutnya yang panjang bergerak-gerak seperti ekor saat kepala itu tenggelam, dan menarik perhatian seekor hiu yang langsung mencaploknya. Berhari-hari aku di rakit tanpa makan minum. Aku melihat tubuh ibuku di lempar ke laut dan langsung tenggelam. Karena lapar, aku kembali ke sekoci. Tukang masak menyambutku dengan biasa saja. Sepertinya ia agak merasa bersalah padaku. Ia memberiku makan seperti biasanya. 

Hari itu, aku tiba-tiba marah padanya dan menyerangnya. Aku begitu jijik dengan manusia itu. Ia pasrah saja saat ku serang. Tidak membalas sama sekali. Ada pisau di atas bangku. Aku tahu ia yang meletakkannya. Ia bisa saja meraihnya jika ia mau, seperti halnya ia bisa saja memutus tali rakitku jika ia mau. Tapi tidak. Aku meraih pisau itu dan menghunjamkan ke tubuhnya berkali-kali. Ia mati di tanganku. Tidak ada pulau di cerita  yang ini.

Petugas asuransi melongo mendengar cerita mengerikan itu. Begitu pula dengan Yann Martell yang diceritani berikutnya. Dua cerita, ada hewannya dan versi manusia. Dua-duanya tetap tidak menjelaskan penyebab kapal karam. Pi menanyakan pada petugas asuransi dan Yann Martell, meski cerita itu tidak bisa menjelaskan apapun, kalau diminta memilih di antara dua cerita itu, mana yang mereka pilih, mereka menjawab yang ada hewannya saja. Pi pun menguatkan pilihan mereka dengan perkataan bahwa Tuhan pun lebih menyukai cerita yang ada hewannya. Well, terdengar lebih manusiawi dan tidak melukai batin sih dibanding cerita yang versi manusia, yang pastinya akan menyayat hati luar biasa dengan kengerian yang ditimbulkannya. Tuhan juga pasti memilih cerita yang ada hewannya, begitu menurut Pi.


Yann menutup cerita ini dengan berkata bahwa akhirnya cerita ini berakhir indah. Pi sekarang hidup bahagia dengan keluarga mungilnya.

Note: Film ini memang indah dipandang mata. Cerita perjuangan hidup yang menakjubkan. Tapi, keindahan itu menghapus fakta korban kapal karam yang ketakutan. Ketakutan yang dominan di buku tertutupi keindahan pemandangan yang di tampilkan. Laut yang panas dan menyilaukan saat siang, berubah drastis jadi super dingin dan gelap pekat saat malam, teror mental yang luaar biasa. Tidak ada yang seperti itu di film ini. Hanya ada petualangan yang seolah terlihat menyenangkan. Untungnya, dengan begitu, film ini jadi bisa ditonton anak-anak. Beberapa mungkin malah membayangkan bisa menjelajah samudra dengan kapal mungil yang berjalan pelan-pelan hingga bisa menyerap seluruh keajaiban alamnya. After all, film ini layak banget untuk ditonton.

Minggu, 21 Juli 2013

Life of Pi part 9

 
 Perahu Pi terombang-ambing menyusuri gelombang lautan. Pi merasakan kesadarannya kian lama menghilang. Setelah beberapa lama, Pi merasakan ada naungan sejuk di atasnya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Dari matanya yang perih, ia melihat seberkas warna kehijauan yang sejuk dan menenangkan. Ia pikir pasti mimpi, atau sudah berada di surga.
Ia mencoba bangkit, tubuhnya kepayahan, jadi ia memastikan bahwa ia masih hidup. Dan kehijauan itu nyata. Ada rimbunan pepohonan di tempat perahunya tertambat. Pi melompat turun. Kakinya begitu lemas hingga ia tak sanggup menjejakkannya di tanah. Tanah? Tidak ada tanah di pulau itu. Pulaunya seolah mengambang dan tanahnya terbentuk dari jalinan akar-akar pohon seperti gambar dan dianyam dengan ketat. Pi mencabuti beberapa rumput dan memakannya. Rasanya segar sekali. Ia juga memotong akar dan mendapati rasanya yang enak dan penuh air.
 
Pi memutuskan untuk berjalan-jalan menjelajahi pulau setelah tubuhnya agak kuat. Ia melihat ada ribuan meerkat, sejenis rakun sedang mengerumuni beberapa kolam yang bentuknya bulat sempurna, yang tersebar di tengah-tengah pulau. Pi penasaran. Ia mendekati kolam, ingin tahu apa yang di tunggu para meerkat itu. Mereka begitu jinak, tak terganggu sedikitpun saat Pi menyingkirkan mereka untuk membuka jalan. Ia melewati mereka dan menginjak beberapa tulang ikan yang tersebar di sekitar situ. Pi pikir, meerkat-meerkat itu pemakan ikan.
 
 
Pi mendekati kolam dan melihat tidak ada ikan di dalamnya. Darimana para meerkat itu mendapatkan ikan? Pi melongok dan terkesima melihat kolam itu terhubung langsung ke laut dalam. Ikan-ikan itu pasti dari laut. Ia mencicipi air kolam dan girang setengah mati karena airnya tawar. Berarti ganggang raksasa itu menyaring air laut menjadi air tawar. Perhatiannya teralih saat ia melihat Richard Parker sedang menangkapi meerkat. Ia memutuskan untuk berenang. Sekian lama bertemu air asin, ia minum sepuasnya  dan membersihkan dirinya dengan gembira.
 
 
 
Senja merenda di ujung samudra. Pi ingin tinggal di pulau itu karena makanan dan air tawarnya melimpah. Ia menyiapkan beberapa selimut dan tali dari perahu, merakitnya di cabang pohon untuk ia tiduri. Semakin gelap, Pi semakin dikejutkan oleh pulau itu. Para meerkat berlarian ke atas pohon seolah ada hantu yang mengejar mereka di atas sana. Mereka mengerubuti tempat tidurnya dan berdesak-desakan di dahan pohon. Beberapa yang naik terlambat, terengah-engah sambil menjilati kaki mereka.
 
Tengah malam, Pi terbangun dan melihat kolam di bawahnya bersinar keperakan. Ia pun takjub dan memperhaatikan. Hatinya seketika menciut manakala ia melihat banyak ikan yang muncul dari dasar lautan tersedot ke kolam dan hancur perlahan, seolah kolam itu mencernanya.
 
Pi menemukan sebuah fakta yang mengerikan. Ia mengkhawatirkan Richard Parker yang ternyata bisa ia lihat dari kejauhan, sudah kembali ke perahu. Ia  pun lega. Ia memperhatikan sekeliling dan melihat pepohonan juga bersinar keperakan. Seluruh pulau bersinar menarik para ikan. 

Ia penasaran karena buah yang di pohon juga bersinar. Ia pun memetiknya. Buahnya terasa ringan seperti tak berisi. Ternyata buah itu kumpulan daun yang melekat membentuk bulatan. Ia menguapas daun itu satu per satu dan bulu kuduknya meremang karena ada gigi manusia di dalamnya.
Pi menemukan fakta bahwa pulau itu benar-benar karnivora, dan ia menyatakan hal itu saat Yann Martell meragukan pernyataannya.
 
 
Pi terlalu ngeri untuk tinggal di sana. Ia memutuskan meninggalkan pulau itu. Ia membawa persediaan air tawar, ganggang, dan meerkat untuk Richard Parker. Lalu ia berlayar kembali. Ia pikir, saat ia menyerah, Tuhan membuat ia mampir ke pulau ini untuk melanjutkan perjalanan, jadi ia harus melanjutkannya.
 
Bulan berganti lagi, persediaan mulai habis. Pi dan Richard Parker kehabisan tenaga lagi saat ia akhirnya terdampar di sebuah pantai di meksiko. Rasanya kakinya tak sanggup untuk meninggalkan perahu. Ia menjejakkan kakinya di pasir yang lembut dan terjatuh di pasir pantai. Tubuhnya sangat-sangat lemah.
 
Richard Parker melompatinya dan berjalan menyusuri pantai. Sampai di tepi hutan, harimau itu berhenti. Pi berharap harimau itu akan berbalik dan mengaum padanya, sekedar mengucapkan selamat tinggal. Ternyata tidak. Richard Parker melenggang begitu saja memasuki hutan.
 
Pi menangis keras melihatnya. Ia merasa patah hati ditinggalkan begitu saja. Ia masih menangis saat orang-orang membawanya ke rumah sakit terdekat. 

Life of Pi part 8


 
 

Bulan pun berganti, persediaan makanan sudah habis. Pi dan Richard Parker kekurangan nutrisi. Pi terlalu lemah untuk menangkap ikan tubuhnya tinggal kulit membalut tulang. Begitupun Richard Parker. Mereka hanya terbaring lemah di perahu, bersama-sama tanpa saling mengganggu. Di bawah perahu terlihat jelas penyu besar dan beberapa hiu, termasuk hiu paus, berenang perlahan. Di buku sepertinya Pi makan dan minum hiu dan penyu deh, lupa-lupa ingat sih. Pi menggumamkan barisan angka panjang bilangan Pi, 3 koma blab la bla saat malam tiba. Ia bertanya pada Richard Parker, mengapa ia terus memandangi lautan dan apa yang ia lihat.

 
 
Richard Parker hanya menoleh sebentar lantas melanjutkan mengamati air. Pi pun ikut melongokkan kepalanya ke laut. Ia tahu sekarang apa yang dipandangi Richard Parker. Kedalaman lautan saat malam membiaskan bayangan mengerikan .  Ikan-ikan besar, cumi raksasa yang melilit paus besar, lalu tiba-tiba paus itu terberai menjelma hewan-hewan kebun binatang yang langsung  di sambar hiu. Ada ikan dasar lautan yang seolah muncul ke permukaan memamerkan taringnya, barisan plankton bercahaya membentuk wajah ibunya (atau Anandi ya?) dan bayangan-bayangan lain yang menyeramkan. Pi pun terkesiap dan menatap Richard Parker yang balas menatapnya. Mereka sudah seakan menjalani simbiosis mutualisme, jadi Pi tidak takut di serang lagi.
Pi pun menyerah. Ia berhenti memutuskan untuk melupakan semuanya. Ia berdamai dengan hidup setelah menjalani hari-harinya yang sulit. Ia menuliskan keputusannya itu di bukunya. Bukan bukunya yang habis duluan hingga dulu ia menulis kecil-kecil. Ternyata pensilnya yang keburu habis-bis sampai ke batas penghapusnya.
Pi mengamati sekitar dan mendapati ada awan tinggi berbentuk seperti jamur di batas cakrawala. Itu awan badai. Sebentar lagi aka nada badai lagi, dan sepertinya akan dahsyat.
Terbukti, badai itu datang juga. Pi mengetatkan ikatan rakitnya dan naik ke perahu untuk berlindung. Ombak besar menggulung dan menerjang mengombang-ambingkan perahu mungil mereka.

Ia harus berlindung di dalam terpal. Daripada mati karena badai yang sudah ia lewati berkali-kali, sekarang ia menyerah dan memilih untuk berlindung meski harus mati di terkam harimau.
Untungnya, Richard Parker mabuk laut karena guncangan perahu. Pi berusaha menutup terpal dengan susah payah. Petir besar dan membutakan mata menyambar menggelegar di permukaan laut. Salah satunya mengenai air di sebelah perahu. Cahayanya pecah menyambar air laksana akar pohon yang merambat. Pi meringkuk ketakutan, lalu mulai menikmati alam. Ia pasrah jika harus mati hari ini.
Ia pun mulai membuka terpal satu persatu, mengajak harimau itu menikmati badai. Sayangnya, Richard Parker ketakutan dan meringkuk di pojokan saat petir menyambar. Ia protes pada Tuhan karena menakuti temannya. Ia berteriak- teriak kegirangan bisa merasakan langsung badai sedahsyat itu, sambil menyerukan ayat Al Qur’an surat Alfatihah ayat 1-4.
Badai semakin dahsyat. Pi masuk ke terpal, menutup terpalnya dari dalam, tapi sulit karena harusnya hal itu dilakukan dari luar. Badannya  penuh lebam dan gores. Ia harus mempertahankan pegangannya supaya tidak tersuruk ke sana ke mari. Berkali-kali ia bersenggolan dengan Richard Parker yang terombang-ambing.
Tanpa terasa, badai berlanjut hingga pagi. Richard Parker tampak kepayahan berbaring di bangku. Air masih menetes-netes dari tubuhnya. Tubuhnya semakin kurus. Begitu juga dengan Pi.
Waktu berlalu hingga berbulan-bulan. Pi terlalu lemah untuk mencari makanan. Ia tak lagi mampu berbuat apapun, hanya berbaring di terpal perahu. Rakitnya menghilang tersapu badai. Richard Parker juga sudah tak mampu bangkit berdiri. Pi menangisi Richard Parker yang kelaparan dan menyalahkan dirinya karena tak mampu lagi merawatnya. Ia mengelus kepala Richard Parker. Hanya geraman pelan yang menjawab bahwa ia rela disentuh. Pi pun meratap sambil meletakkan kepala Richard Parker di pangkuannya. Ia siap mati bersamanya sekarang.