Menonton film ini, membuatku merasa bersyukur, betapa kemerdekaan itu sungguh membahagiakan. Rezeki hidup merdeka, seringkali terlupa, tertutupi keinginan untuk terus menumpuk harta dunia. Saya harus sangat berterima kasih pada para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan Negara kita. Andaikan sampai saat ini kita masih dijajah, mencari uang akan susah, beribadah susah, bahkan berbicara saja susah. Merdeka, berarti segalanya.
Bersetting Amerika lama, film ini menyuguhkan penderitaan yang nyata ada, sekaligus pemandangan pedesaan yang indah tiada tara (menurutku sih, tapi tetap lebih indah pedesaan kita hehehe). Amerika yang menklaim negaranya sebagai Negara paling beradab, tahun 1800-an masih melegalkan perbudakan. Padahal, mereka menuduh perbudakan itu bar-bar. Kita, bangsa yang dijajah, perbudakan ada di tahun sebelum masehi, zamannya kerajaan Ken Arok dan kawan-kawan. Itu pun menurut sejarahnya, perbudakan sudah mulai dihapuskan. Jadi, patutlah kita bangga pada bangsa sendiri, karena sebenarnya, kita jauh lebih beradap.
Diilhami dari sebuah kisah nyata, yang telah dituangkan dalam sebuah biography sekitar tahun 1800-an. Adegan awal dimulai dengan sebaris orang-orang kulit hitam berwajah pasrah, hanya satu diantara mereka yang ekspresinya menahan amarah. Dia adalah Solomon Northup, tokoh utama dalam film ini, diperankan oleh Chiwetel Ejiofor. Solomon adalah seorang Afro-Amerika merdeka (bukan budak) yang bekerja sebagai tukang kayu professional sekaligus seorang pemain biola yang berbakat. Ia menjalani kehidupannya sebelum bercerita, sebagai seorang budak yang tinggal di rumah pertanian dan peternakan. Hidup satu ruangan campur lelaki dan perempuan, membuatnya putus asa. Ia tak lagi bernafsu pada dunia. Bahkan, ketika ada budak latin berusaha menggodanya, ia hanya diam, mematung, mati rasa. Keinginannya hanya satu, mengirim kabar pada keluarganya, bagaimanapun caranya. Adegan awal saat Solomon makan berry, ia sadar berry itu bisa jadi tinta. Ia hendak menulis, tapi merasa frustasi dan membatalkannya.
Ia mengingat keluarganya. Istrinya yang manis, dua anaknya yang menyenangkan. Dulunya, mereka hidup bersama dengan bahagia di Saratoga Spring, New York. Hari itu, hari terakhir ia bertemu dengan keluarganya, adalah saat ia mengantar istrinya naik kereta kuda, hendak menuju ke rumah orang tuanya. Ia sendirian di rumah, didatangi oleh dua orang kulit putih yang diperkenalkan oleh temannya. Mereka menawarinya bekerja sebagai pemain biola di sebuah sirkus tingkat internasional selama dua minggu, dengan tawaran gaji yang sangat menggiurkan. Solomon pun tergoda, dan ia bersedia ikut bersama kedua orang itu, ke Washington, untuk makan dan minum-minum hingga mabuk. Ia terbangun dalam keadaan bingung. Tangan dan kakinya ter-rantai. Ia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Ia muntah, lalu tidur di sebuah kamar hotel, dan tiba-tiba, bangun di lantai, dengan setelan jas yang sudah terlucuti, dan kaki serta tangan dirantai.
Seseorang masuk ke dalam ruangan tempat ia terbangun dengan bingung. Solomon tahu ia diculik, dan hendak menjelaskan pada orang yang datang itu, bahwa ia bukanlah budak. Ia adalah Solomon Nothup dari Saratoga, yang seluruh penduduknya adalah orang merdeka. Orang kulit putih di hadapnnya dengan sinis berkata, bahwa mulai sekarang, Solomon bukan lagi orang merdeka. Ia diberi identitas baru sebagai budak pelarian dari Georgia. Dan sebagai bukti bahwa Solomon itu diperbudakkan, orang kedua yang ikut masuk, menarik ujung rantai hingga Solomon terjerembab dalam posisi merangkak. Dengan kejinya, orang yang pertama memukuli punggungnya dengan tongkat kayu. Solomon berteriak kesakitan. Tetap bersikeras bahwa ia orang merdeka, Solomon mendapat tambahan cambukan dari ikat pinggang kulit. Bekas luka itu, cukup menjadi tanda bahwa ia benar-benar budak sekarang. Karena, orang merdeka tak akan mendapatkan perlakuan seperti itu. Orang itu terus memukuli Solomon hingga kelelahan dengan sendirinya. Solomon tak tahan lagi. Ia jatuh berguling, menangis kesakitan. Ia mengintip dari jeruji di ruangan itu, berteriak minta tolong pada siapapun yang mendengarnya. Gedung putih terlihat menjulang di seberang. Lambang sebuah ketidakadilan, dari dulu hingga sekarang.
Orang kedua yang menarik rantai masuk kembali, membawa sedikit makanan dan pakaian. Ia meminta baju Solomon yang telah koyak, diganti dengan kain blacu yang kasar. Kemudian, ia dusuruh mandi, bersih-bersih diri dengan ember dan air seadanya. Mereka yang mandi, semua punya bekas luka dipunggung. Kecuali seorang anak kecil, yang terus merengek meminta kedaatangan ibunya. Solomon mendiamkan anak itu, takut ia akan mendapat pukulan juga jika terus merengek seperti itu.
Kemudian, ia dikumpulkan bersama budak-budak lain yang memang budak, yang akan dijual bersama. Solomon dan kawan-kawan, di naikkan ke dalam kereta barang, ditutup dengan kain terpal, menuju ke pelabuhan. Tiga lelaki dewasa, dua anak, lelaki dan perempuan, bersama Eliza, ibu mereka, meringkuk sekenanya di atas peti barang. Mereka naik kapal, bersama budak-budak lain yang sudah ada di kapal. Solomon membuka pembicaraan tentang kemungkinan memberontak. Tapi, karena yang lain kebetulan memang terlahir sebagai budak, tidak punya pemikiran lain kecuali pasrah. Kecuali, perasaan tidak terima karena hendak dijual kembali. Satu-satunya nasehat yag Solomon ingat adalah, tidak gegabah, dan tidak banyak bicara. Terbukti, budak yang protes, mulutnya dirantai.
Kapal pun semakin berjalan menjauh, menuju New Orleans. Tengah malam, seorang kulit putih yang mabuk mendekati Eliza, hendak memperkosanya. Budak yang tadi mulutnya dirantai, tidak terima dan hendak menolong Eliza. Dengan entengnya, ia mendapatkan tujukan bertubi-tubi di perutnya. Sambil melarung mayat budak itu, Solomon mendapatkan pelajaran lagi, untuk terus bertindak hati-hati.
Setibanya di pelabuhan berikutnya, Solomon memperhatikan sekitarnya. Para kulit hitam yang menjadi budak, para kulit hitam yang berjalan-jalan merdeka bersama keluarganya. Ia jadi ingat pada keluarganya, yang berjalan-jalan, mengunjungi toko langganannya milik Tuan Parker yang sekaligus adalah kawannya. Saat namanya dipanggil, ia tak menggubris, karena ia dipanggil dengan sebutan “Platt”, sebuah nama budak untuk dirinya.
Sepanjang jalan, Eliza menangisi anak-anaknya. Platt hanya termangu menyesali nasibnya. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana. Nyonya Ford menanyakan mengapa Eliza menangis. Tapi ya… begitu saja. Seperti barang, sudah dibeli yang sudah, tak ada urusan lagi dengan perasaan. Bersama dengan para budak lain yang dimiliki Tuan Ford, Platt bekerja sebagai tukang tebang pohon, dipimpin oleh seorang tukang kayu bernama John Tibeats (Paul Dano). Awalnya, Tibeats adalah orang yang menyenangkan. Ia menyemangati para pekerjanya dengan lagu “run niger run”. Platt memandangi rawa-rawa di sekitar, dan menyampaikan idenya untuk menghemat waktu, tenaga dan biaya. Platt bercerita bahwa ketika ia menjadi tukang kayu dulu, ia membawa kayu gelondongan melewati sungai, jadi lebih praktis. Ia pun mencontohkan bagaimana membawanya. Semua terpesona, termasuk Tuan Ford sendiri, ia senang memiliki budak berbakat. Dari situlah awal kedengkian Tibeats padanya.
Platt memarahi Eliza karena masih terus menangis. Eliza mencibir Platt karena tidak tahu rasanya menjadi seorang ibu yang terpisah dari anak-anaknya. Apalagi, sekarang Platt adalah kesayangan Tuan Ford, pastinya ia merasa lebih senang. Eliza menasehati, bagaimanapun, Tuan Ford adalah pelaku perbudakan. Sebaik apapun, ia tidak akan melepaskan Platt meski ia bercerita tentang identitas aslinya. Dan Eliza benar. Tuan Ford, bertindak sebagai pengkhutbah, mengajari Kristiani pada budak-budaknya setiap minggu pagi. Eliza masih terus menangis mengganggu suasana. Akhirnya, Eliza dijual kembali. Platt memulai tugas lain, membangun sebuah gubuk, dengan Tibeats sebagai pengawasnya. Tibeats yang dengki, mulai membuat gara-gara. Ia marah-marah tanpa sebab, menyalahkan ini itu, dan tidak terima jika Platts menjawab kemarahannya. Ia pun memukul Platt. Spontan, sebagai orang merdeka, Platt membalas pukulan itu, dan berhasil memojokkan Tibeats. Tibeats pun semakin dendam kepadanya. Ia pergi, untuk kembali lagi, berkuda bersama dua orang temannya, menyeret Platt ke sebuah pohon besar, hendak menggantungnya di sana. Tapi, mandor perkebunan keburu datang dan menggagalkan pembunuhan itu. Ia menembakkan senapan, membuat Tibeats dan kawan-kawannya lari dengan sumpah serapah di mulut mereka. Mandor itu tidak melepaskan tali gantungan. Dan tidak berniat melakukannya, karena ia tahu Platt tidak akan mati. Ujung jarinya masih menyentuh bumi. Dengan kepayahan, Platt mempertahankan posisinya, agar ujung jari kakinya tidak terpeleset di tanah yang becek, hingga ia tergantung dengan sendirinya. Platt dalam posisi seperti itu, dari pagi, hingga malam menjelang, tak ada budak lain yang berusaha menolongnya. Mereka takut karena mandor perkebunan terus mengawasi mereka. Tapi, diam-diam, ada seorang budak yang memberinya minum. Menjelang malam, Tuan Ford pulang, dan melihat Platt yang berayun di pepohonan. Ia memutuskan tali dan membawa Platt ke dalam rumah untuk sedikit perawatan. Sambil berjaga-jaga, karena ia tahu Tibeats masih mengintai di sekitar. Platt bercerita tentang identitas aslinya. Dan seperti kata Eliza, Tuan Ford tidak mau dengar. Ia sudah banyak hutang karena membelinya. Maka, demi keselamatan Platt, ia akan mengirimnya ke Tuan yang baru, pemilik perkebunan kapas.
makasih gan, terjawab ternyata yg awal itu budak latin yg mau menggoda
BalasHapus