Selasa, 11 November 2014

FROZEN Part 1

Film animasi ini bersetting kerajaan, jadi bukan film zaman modern. Kisah klasik tentang para putri dan pangeran. Sesuai dengan judulnya, film ini akan memaksimalkan suasana beku alias bersalju. Adegan pembukanya saja berupa nyanyian penyemangat bagi para penambang es batu di pegunungan utara. Es batu ditambang? Iyalah, kan ceritanya belum ada kulkas. Es-es besar digergaji membentuk balok panjang, persis seperti es batu yang dijual di pasaran. Lalu mereka mengangkut es-es batu itu ke kota, menggunakan kereta luncur salju yang ditarik oleh sepasang moose (sejenis rusa kutub bertanduk lebar). Di kelompok para tukang es itu, ada seorang anak lelaki kecil, yang mencoba meniru para orang dewasa menambang es. Dengan segala usaha, akhirnya ia pun mendapatkan sebongkah kecil es, yang ia naikkan ke kereta kecilnya, yang ditarik oleh seekor moose yang masih kecil pula. Mengapa harus ada anak kecil di sana? Karena anak itulah yang akan menjadi pendamping tokoh utama.

Sementara itu, di belahan selatan, di tempat yang sedikit lebih hangat, di sebuah kerajaan, dua orang putri, kakak beradik, Elsa si sulung dan Anna si bungsu, sedang menikmati hangatnya pelukan malam. Rembulan yang bersinar terang membuat Anna bersemangat dan tak bisa tidur. Dengan mengendap-endap, ia menyelinap ke kamar kakaknya dan membangunkannya. Ia ingin bermain saat itu juga. Elsa yang mengantuk menolak ajakan itu. Akan tetapi, Anna merayunya dengan sesuatu yang jelas tidak akan ditolak oleh kakaknya: membuat boneka salju. Ternyata, Elsa memiliki kekuatan super, yaitu bisa menciptakan es dari tangannya. Mereka bermain dengan riang gembira, hingga Elsa yang belum terlalu mahir mengendalikan kekuatannya, salah membidik dan mengenai dahi adiknya. Anna seketika jatuh pingsan. Tubuhnya membeku. Elsa dengan panic berteriak memanggil orang tuanya.

Dengan bergegas, raja, ratu dan Elsa membawa Anna ke tempat yang bisa mengobatinya. Sepanjang jalan yang dilalui oleh kereta mereka, berubah membeku. Anak kecil di tambang es tadi, penasaran dan membuntuti kereta raja. Kereta itu sampai di sebuah lapangan terbuka, dimana banyak batu kehijauan terhampar di sana. Begitu raja mengucap bahwa ia membutuhkan bantuan, seketika batu-batu hijau itu berubah menjadi troll kerdil yang baik hati. Tetua Troll mengobati Anna. Ia mengatakan Anna beruntung tidak diserang di bagian hati, jadi bisa disembuhkan. Sedangkan untuk Elsa, troll itu menasehati agar berhati-hati, karena emosi yang tidak terkendali, ketakutan yang tidak terkendali, akan memperbesar kekuatan itu. Dibalik batu besar agak jauh dari tempat mereka, anak kecil itu mengintip dan terkejut. Lebih terkejut lagi karena ternyata batu yang ia gunakan untuk bersembunyi juga troll yang menyamar. Troll itu menyukainya dan berniat untuk mengadopsinya.

Sejak saat itu, Elsa memilih untuk tak lagi bermain dengan adiknya. Ia mengurung diri di kamar, belajar mengendalikan emosi, belajar mengendalikan kekuatan, dan selalu memakai sarung tangan, agar apapun yang ia sentuh tak membeku. Anna hanya mengingat, sejak saat itu ia kehilangan sosok kakaknya. Terlebih, saat ayah dan ibunya pergi melawat ke luar negeri dan tak pernah kembali karena kapal yang mereka tumpangi karam di lautan, Anna semakin kesepian. Setiap hari, ia menggoda kakaknya dengan lagu ajakan untuk membuat boneka salju, namun kakaknya tak bergeming, tetap tak merespon ajakannya.

Hingga suatu hari, tibalah saatnya penobatan Elsa untuk menjadi ratu menggantikan orang tuanya. Anna begitu gembira, karena kelambu kerajaan di buka, dan banyak orang di istana. Ia bernyanyi dengan riang gembira, menyadari banyak kejutan yang ia baru ketahui. Ia berharap dapat bertemu dengan orang yang baik, yang bisa ia cintai dan yang mencintainya, yang akan memberinya hidup yang lebih berwarna.

Ada dua orang yang punya rencana jahat untuk menggulingkan Elsa, sementara rakyat bersemangat menanti ratu baru mereka. Kedua orang itu sedang mencari-cari kesalahan yang mungkin dimiliki oleh sang calon ratu. Padahal, Elsa sendiri sedang ketakutan menghadapi acara penobatannya.

Anna yang tetap riang, berjalan-jalan di sekeliling istana. Ia menabrak seorang pengendara kuda, dan tubuhnya terjungkal ke sebuah perahu yang tertambat. Penunggang kuda itu sangat tampan. Anna pun terpesona. Pangeran itu bernama Hans, dari kerajaan sebelah. Anna mengenalkan dirinya sebagai putri dari kerajaan Arendelle. Hans pun merasa sungkan dan membungkuk. Kuda yang menahan perahu ikut membungkuk, jadilah perahu itu bergoyang dan mendekatkan keduanya. Humor khas Disney^_^.

Anna harus bergegas karena mendengar lonceng penobatan. Ia melambaikan tangan pada Hans. Hans dan kudanya membalas melambaikan tangan, perahu tak ada yang menahan, Hans pun tercebur ke sungai. Tapi ia tersenyum. Sepertinya ia tertarik kepada Anna.

Yang Anna lihat sepanjang acara penobatan hanyalah Hans yang duduk di deretan bangku depan. Sedangkan Elsa, menjalani penobatannya dengan tegang. Saat uskup agung meminta Elsa memegang tongkatnya sebagai symbol penerimaan jabatan, ia meminta Elsa untuk melepas sarung tangannya. Dengan gemetar, Elsa pun mengambil tongkat dan bola dengan tangan terbuka. Ucapan penobatan seolah begitu lama bagi Elsa. Tongkat dan bola emas di tangannya mulai membeku. Begitu pemberkatan selesai, buru-buru ia mengembalikan kedua benda itu dan langsung memakai sarung tangannya. Bagi Anna, tindakan Elsa itu hanyalah karena ia tidak suka kotor. Maklum, saat kecelakaan dulu ingatannya telah dihapus oleh troll.

Setelah upacara penobatan, giliran sambutan pesta bagi para tamu. Lord Weselton, orang yang berniat buruk, maju ke depan menghadap Elsa. Elsa berdiri berdampingan dengan Anna. Mereka bersikap kikuk karena sekian tahun baru berjumpa. Tapi sifat kanak-kanak mereka tetaplah ada. Lord Weselton mengajak Elsa untuk berdansa, tapi Elsa menampiknya dengan halus. Ia malah mengajukan Anna untuk menggantikannya. Lord Weselton berdansa dengan sangat energic, hingga kaki Anna harus berulang kali terinjak. Yang lucu, rambut bagian depannya yang palsu akan menyibak jika ia menunduk. Berulang kali Anna dan Elsa menertawakan hal itu. Sampai, sesi dansa yang mengkhawatirkan itu berakhir. Anna senang sekali kakaknya telah kembali ke hadapannya. Ia mengungkapkan keinginannya untuk bisa terus seperti itu. Akan tetapi, meski Elsa juga menginginkannya, Elsa mengelak mengatakan yang sebenarnya. Hal itu membuat Anna sedih, dan meninggalkan kakaknya, menuju kerumunan dansa. Seseorang menyenggolnya dengan keras. Ia hampir saja jatuh jika tak ada yang menangkapnya. Hans!

Anna senang sekali bertemu Hans lagi. Mereka berdansa, dan berakhir dengan mojok di balkon berdua. Anna curhat tentang kakaknya, Hans curhat tentang keluarganya. Berlanjut dengan lagu ungkapan cinta. Di akhir lagu itu, mereka berdua memutuskan untuk menikah, dan meminta restu dari Elsa. Dengan bergegas, Anna dan Hans menyibakkan kerumunan orang, menuju Elsa yang sedang mengobrol dengan Lord Weselton. Elsa menolak permintaan Anna atas restunya. Anna pun sewot, mengolok-olok Elsa yang lebih memilih menjauhi semua orang. Tanpa sengaja, Anna menarik sarung tangan kakaknya. Elsa memilih untuk kembali ke kamarnya dan membubarkan pesta. Tapi Anna tetap ngotot, dan hal itu memancing emosi Elsa. Muncul lah pagar es yang runcing di depan Anna ketika Elsa membentaknya. Semua orang di ruangan itu terkejut. Moment itu tak disia-siakan oleh Lord Weselton, yang langsung menjelek-jelekkan Elsa dan mengatainya monster.

Elsa terjebak oleh ketakutannya sendiri. Ia berlari ke luar istana, di sambut rakyat yang menantikannya. Tapi rakyat bingung, karena ratu mereka terlihat linglung. Elsa yang kalut, menyentuh kolam air mancur yang seketika itu berubah menjadi patung es yang menakjubkan. Bukan keindahan yang terlihat di mata rakyat, tapi ketakutan. Pengawal Lord Weselton mengejarnya. Ia pun terus berlari ke pegunungan utara. Anna yang sadar akan kesalahannya, mengejar kakaknya.

Namun tak ada yang bisa mengejarnya. Karena Elsa menyeberangi lautan, dengan berjalan kaki. Setiap jengkal yang ia pijak berubah menjadi es. Elsa sudah jauh ke pegunungan utara, ketika selulur kerajaan  tertutup salju dan membeku. Lord Weselton menyalahkan semua itu pada kutukan Elsa. Anna yang mendengarnya, membela kakaknya. Ia berniat mengejar kakaknya sendirian, karena ia yakin Elsa tak akan pernah melukainya. Tak lupa, ia menitipkan kepemimpinan kerajaan pada Hans.

Sementara itu, Elsa yang telah sampai di pegunungan utara yang memang bersalju, merasa merdeka karena ia akhirnya sendirian. Tak perlu lagi ada orang yang harus ia lindungi dari kekuatannya. Dan mengalunlah lagu Let It Go – nya Idina Menzel yang indah. Elsa menikmati kemerdekaannya, sambil membangun istananya sendiri. Sebuah istana es yang menakjubkan, buah karya kekuatan magisnya.

RIO (Film Animasi Angry Bird) part 1

Ini film bagian pertama, karena film ini ada sekuelnya. Entah akan dibuat jadi berapa kelanjutan setelah Rio 2. Sesuai dengan judulnya, film ini bersetting di Rio De Janeiro, Brazil. Film adaptasi dari game Angry Bird Rio ini berkisah tentang dua ekor burung macaw biru yang langka, yang menurut film tinggal sepasang di dunia. Sebuah insiden mengharuskan mereka terikat bersama dan mengalami petualangan yang mendebarkan. Mau tahu kisahnya seperti apa? Check itu out!

Adegan dimulai dengan tarian indah para burung di hutan hujan Brazil. Mereka menari, menyanyi, mensyukuri karunia ilahi. Para induk berbahagia menjaga telur mereka. Burung indah berwarna-warni membentuk formasi. Namun, kesenangan itu berubah menjadi bencana, manakala para pemburu yang kejam dan tidak bertanggung jawab, menangkap mereka semua, termasuk tokoh utama kita yang kala itu masih kecil.

Adegan berpindah pada pesawat penyelundup yang mengangkut burung-burung itu, hingga di tempat yang berbeda, di Minnesotta yang dingin bersalju, sebuah truk melaju terburu-buru. Sopirnya tak melihat lampu merah yang menyala, karena tertutup burung kecil yang mencoba mencari kehangatan di sana. Saking kagetnya, sopir itu banting stir. Bak truk sedikit terbuka dan menjatuhkan kotak berisi burung macaw biru di dalamnya.

Seorang gadis kecil berkacamata, Linda namanya, menemukan kotak itu. Ia mengintip ke dalamnya dan merasa iba pada burung kecil yang kedinginan di sana. Ia pun mengambilnya dan merawatnya. Ia menamai burung itu Blu.

Blu tumbuh menjadi burung dengan gaya kota. Rumahnya, rumah linda, yang juga berfungsi sebagai toko buku, sangat sesuai dengan kebiasaannya. Ia sarapan ala manusia, mandi dan gosok gigi pun ala manusia. Hidupnya menyenangkan. Segala kebutuhan sehari-hari bisa ia lakukan. Hanya satu yang terlupa, Linda tidak mengajarinya terbang.

Burung-burung liar di luar toko mengejeknya sebagai anak rumahan yang manja. Namun Blu tidak peduli. Ia bahagia dengan cara hidupnya. Hati itu, ia sarapan layaknya hari-hari biasanya. Tak disangka bahwa aka nada tamu special yang kelak mengubah hidupnya.

Seorang professor ahli burung, Dr. Tulio namanya, menyambangi toko buku milik Linda. Ia sudah menempuh jarak ribuan kilometer dari Brazil yang panas ke Minesotta yang dingin hanya untuk melihat satu-satunya macaw biru jantan yang masih tersisa. Ia berniat membawanya ke Brazil untuk dikawinkan dengan Macaw Biru betina yang ia punya, juga satu-satunya di dunia.

Awalnya Linda tidak setuju. Bahkan Blu pun ogah bepergian jauh. Tapi, demi kelangsungan hidup spesies itu, dan Blu yang terdorong untuk bisa terbang seperti burung lainnya, berangkatlah mereka ke Rio De Janeiro, Brazil. Linda dan Blu menikmati jalanan Brazil yang semarak karena persiapan karnaval tahunan. Jalanan dipenuhi orang-orang yang mengenakan kostum unik berwarna-warni. Semua orang boleh mengikuti karnaval itu. Blu sendiri berkenalan dengan burung asli, seekor burung gendut dengan kepala merah (cardinal ya?) dan seekor burung kuning kecil (kepodang kah?)

Awalnya, burung-burung itu mengira Blu sedang ditangkap. Tapi, ketika Blu bercerita bahwa ia akan dipertemukan dengan burung betina, ia pun mendapat pelajaran berharga tentang cara merayu wanita a la Brazil. Setelah tiba di tempat konservasi, Linda menyadari bahwa tindakannya benar, karena di sana Tulio merawat banyak burung terlantar yang sebagian besar diambil dari para penyelundup. Blue melihat seekor kakak tua putih yang kondisi tubuhnya sungguh memprihatinkan. Akan tetapi, saat Blu menyapanya, kakak tua itu malah mendelik marah kepadanya. Blu jadi merasa khawatir namun tidak memikirkan hal buruk apapun.

Linda meminta ditunjukkan di mana Blue Macaw betina yang rencananya akan dijodohkan dengan Blu berada. Seorang petugas menunjukkan apa yang sudah dilakukan burung betina itu kepadanya. Sebuah cakaran besar menghiasi pipi petugas itu. Blue jadi khawatir dan tanpa sengaja berteriak. Tulio pun berusaha menenangkannya.

Blu di masukkan ke kandang Macaw Biru betina yang bernama Jewel. Rambutnya dijambul untuk menarik perhatian. Tapi, begitu melihat bayangan dirinya di dinding baja, blu merasa tidak pantas dan merapihkannya kembali. Ia mulai berjalan-jalan di sekitar sangkar yang ditata semirip mungkin dengan habitat aslinya. Blu memanggil-manggil Jewel tapi tak ada sahutan. Ketika tiba-tiba Jewel melayang turun dengan cantiknya, Blu terpesona, hanya sekejab karena Jewel langsung memiting lehernya. Blu sesak nafas dan Jewel tahu ia harus dilepaskan. Setelah akhirnya Blu lepas, mereka pun berkenalan dan langsung saling mengejek sebagai burung liar dan burung piaraan.

Linda dan Tulio yang melihat dari monitor, memutarkan lagu nya Lionel Richie yang romantic untuk kedua burung itu, berharap mereka cepat akur. Sambil menunggu prose salami perkawinan burung itu, Tulio mengajak Linda makan malam di sebuah restoran yang menyajikan hati ayam. Awalnya Linda ragu meninggalkan Blu sendirian, namun Blu meyakinkan Linda bahwa semuanya akan baik-baik saja karena Blu dijaga petugas terbaik.

Ternyata, kakak tua putih itu adalah agen seorang penyelundup. Saat semua pintus sudah dikunci, ia membuat kegaduhan hingga membuat penjaga mencari sumbernya. Begitu melihat kakak tua putih itu di lantai, penjaga itu pun memungutnya, tanpa tahu bahwa kakak tua itu memegang kain yang sudah disiram obat bius. Penjaga itu pun akhirnya pingsan, dan sebuah tangan terlihat menangkap Blu dan Jewel. Tulio yang sedang meniup-niup sate hati ayam, dikagetkan oleh dering teleponnya yang mengabarkan hilangnya kedua burung kesayangannya.

Senin, 27 Oktober 2014

Rindu bercerita

Postinganku setelah ini mungkin hanya akan berupa cerita pendek. Sinopsis singkat yang tidak banyak gambar. Pindah domisili membuatku tak lagi memiliki koneksi internet cepat. Lemot sekali untuk memuat gambar banyak. Bagi yang sudah suka blog ini, maafkan karena beda gaya. Bagi yang baru mampir, semoga suka. Aku hanya ingin membagi banyak cerita.

Sabtu, 03 Mei 2014

12 Years A Slave Part 3

Beberapa bulan kemudian, perkebunan Tuan Epps sudah kembali seperti semula. Para budak kembali ke tempat mereka. Patsy yang bukan lagi ratu ladang, sedang menyapu di halaman. Ia menyambut kedatangan kembali rombongan budak dengan pipi prnuh luka dan mata memerah bengkak. Sepertinya kekejaman Nyonya Epps belum berakhir kepadanya. Ada budak perempuan kecil di sana. Sepertinya baru beli. Ia sangat disayang Tuan Epps, digendong ke mana-mana.




Para budak memanen kapas seperti biasanya. Ada tambahan anggota budak lagi di sini, namanya Armsby (Garret Dillahunt), orang kulit putih. Ia menjadi budak karena pemabuk dan banyak hutang hingga dirinya sendiri yang harus dijual. Sama seperti Platt, ia sering dicambuk karena menghasilkan sedikit panen. Ia bercerita bahwa dulunya ia adalah pengawas perkebunan. Ia juga sering merasa bersalah jika tiap hari harus mabuk-mabukan. Makanya ia sering melarikan diri pada minuman keras. Platt merasa Armsby bisa membantunya keluar dari statusnya. Maka, ia pun mengambil kertas yang ia ambil dulu, membuat kesepakatan dengan koin bayaran yang ia punya, meminta Armsby untuk mengirimkan surat yang ia tulis ke New York. Armsby berjanji akan melakukannya, menyuruhnya menulis suratnya dan menemuinya dua hari lagi. Platt sangat lega mendengarnya. Ia menyiapkan tinta buatannya sendiri dan mulai menulis secara sembunyi-sembunyi.


Akan tetapi, ternyata Armby menghianatinya. Ia melaporkan hal itu pada Tuan Epps untuk mencari muka. Tentu saja Tuan Epps murka. Tengah malam, Platt dibangunkan dan diinterogasi Tuannya yang khawatir ia akan melarikan diri. Dengan diplomatis, Platt berkata bahwa apa yang Armsby katakana itu hanyalah bohong belaka. Dengan fakta bahwa Platt tidak mungkin punya kertas dan tinta, dengan tambahan Armsby adalah budak kulit putih dan berniat menjadi pengawas, pemabuk pula, Tuan Epps pun lebih mempercayai Platt yang cenderung tak akan berani berbohong. Platt menghela nafas lega saat Tuan Epps meninggalkannya. Dengan berat hati, ia membakar kertas yang ia miliki satu-satunya, melihat sampai akhir kertas itu berubah menjadi abu, menghanguskan seluruh harapannya.



Suatu hari saat memanen kapas, ada seorang budak tua yang meninggal dunia. Platt menguburkannya di kebun belakang bersama beberapa budak lain. Hanya beberapa patah kata sederhana yang mengiringi penguburan itu. Upacara penghormatan dilakukan dengan nyanyian bersama budak yang lainnya. Sementara yang lain bernyanyi dengan khidmat, Platt justru setengah menangis, campuran antara marah dan kesal, menyadari kemungkinan dirinya pun akan berakhir seperti ini, tanpa punya kesempatan untuk bertemu dengan keluarganya lagi. Ekspresinya luar biasa sekali.


Kegiatan berlangsung seperti biasanya setelah itu. Platt saat ini ditugaskan untuk membuat sebuah gazebo. Ia senang mempraktekan kemahirannya kembali. Ia ditemani seorang pekerja, tukang kayu juga bernama Bass (Brad Pitt) yang berasal dari Kanada. Bass terkejut saat Platt menyahuti ceritanya tentang Kanada. Bass adalah kebalikan dari Epps. Ia tidak menyukai perbudakan, bahkan menentangnya. Melihat gelagat seperti itu, Platt pun mencoba mencari kemungkinan lagi. Ia meminta tolong pada Bass agar menuliskan surat untuknya, dan mengirimkannya pada seseorang yang ia kenal. Bass merasa hal itu sangat sulit, namun ia berjanji akan mengusahakannya. Platt tidak terlalu berharap banyak pada kemungkinan kali ini.





Suatu hari, Tuan Epps sangat marah sekali ketika tak bisa menemukan Patsy di mana-mana. Tak ada yang tahu kepergiannya. Begitu Patsy datang, ia langsung memarahinya. Ia tak percaya pada keterangan Patsy bahwa ia hanya meminta sabun kepada Nyonya Shaw, karena Nyonya Epps tak pernah memberikan padanya. Tubuhnya terlalu bau karena ia bekerja lebih keras daripada yang lainnya. Lagi pula ini adalah hari Sabath, ia berhak berdoa pada Tuhannya. Tuan Epps yang terlanjur marah, meminta Patsy untuk diikat dipohon dan dicambuki. Ia meminta Platt yang melakukannya. Tentu saja Platt melakukannya dengan pelan-pelan. Nyonya Epps mengompori suaminya bahwa Platt hanya pura-pura mencambuk. Tidak ada luka dipunggung Patsy, katanya. Lah, dulu pas suaminya bertengkar di hari Sabath, dimaki-maki. Sekarang, demi dendam pribadi, jadi tidak apa-apa, gitu? Monster deh mereka semua.
Dengan ancaman pistol dan pembunuhan pada seluruh budak, Platt pun mencambuk lebih keras. Darah memuncrat tiap kali cambukan. Teriakan Patsy semakin mengenaskan. Platt mencambuk sambil menangis. Ia tak tahan lagi dan berhenti. Tuan Epps merebut cambuk dari Platt dan melanjutkan hukuman itu sampai Patsy tak sadarkan diri dan ambruk ke tanah. Aku tidak berani memajang lukanya di sini, terlalu waw untuk dibayangkan. Kulit super koyak di sekujur punggung, tak mampu kubayangkan rasa sakitnya. Para budak wanita mengobati luka Patsy dengan menangis. Mereka pun putus asa karena tak mampu melakukan apapun. Platt yang sangat marah, menyepi di pinggir rawa, hendak memainkan biolanya. Tapi biola itu sudah terlalu tua, tak lagi bisa dimainkan. Senarnya putus saat Platt menyetelnya. Platt pun semakin marah dan menghancurkan biolanya.








Platt dan Bass melanjutkan pekerjaan membuat Gazebo. Ia meminta tolong sekali lagi agar Bass mau menolongnya. Ia bercerita tentang penculikannya. Setelah ini, Bass harus kembali lagi ke Kanada. Hingga suatu hari setelah lama sepeninggal Bass dari perkebunan itu, ada seorang Sherif yang menyerukan nama Solomon Northup. Sheriff itu membawa seseorang di kereta kudanya. Awalnya, Platt hampir lupa dengan namanya. Ia senang sekali ada yang mengenalnya. Sheriff itu bertanya beberapa hal untuk mengkonfirmasi identitasnya. Tentu saja Solomon menjawab semuanya dengan tepat. Lalu, ia diminta untuk mengenali seseorang di kereta kuda. Ia Tuan Parker, pemilik toko langganan Solomon dan keluarga dulu. Tuan Epps keluar rumah mendengar keributan itu. Ia tidak terima budaknya hendak diambil. Tapi, Sheriff mengancam dengan hukum, karena Solomon punya bukti kuat bahwa ia adalah manusia merdeka. Solomon pergi dari perkebunan itu dalam keadaan seperti mimpi, diiringi tangisan Patsy yang merasa kehilangan, dan makian Tuan Epps yang terdengar di kejauhan.


Solomon kembali ke rumahnya dulu di Saratoga Spring. Kedua anaknya sudah besar, sudah menikah. Ia bahkan sudah punya cucu. Tetapi istrinya sepertinya sudah tiada. Sejak saat itu, ia memperjuangkan kasus penculikannya, namun hukum Negara itu masih membela orang kulit putih dan membebaskan para penculiknya. Ia juga terus membantu para budak pelarian untuk mendapatkan kebebasan. Tak ada yang tahu pasti tentang kematian Solomon Northup, orang yang penuh inspirasi dalam film ini.

12 Years A Slave Part 2

 Tuan Epps (Michael Fassbender), pemilik perkebunan kapas tempat Platt mengabdi berikutnya, adalah orang yang angin-anginan. Ia baik hati, tapi juga mudah marah jika ada yang tidak pas dengan hatinya. Ia adalah penganut injil yang setia secara bahasa, jadi ia menanggap dirinya adalah tuan yang mutlak, yang berhak melakukan apapun pada para budaknya. Kesalahan pemahaman pada kitab suci, yang hanya diartikan menurut kepentingan pribadi, memang sangat berbahaya. Ia menargetkan para budaknya, untuk memanen kapas sedikitnya 200 pound sehari. Jika kurang, maka akan mendapat hukuman cambuk. Diantara para budaknya, ada satu yang menjadi favorit Tuan Epps, yaitu Patzy (Lupita Nyong’o), perempuan muda kesayangan Tuan Epps karena selalu memanen sekitar 500 pound sehari. Dua kali lipat dari yang diharapkan.  Selain memberinya julukan sebagai ratu ladang, Tuan Epps juga kerap mengunjungi kamar Patzy untuk mendapatkan pelayanan pribadi. Tentu saja hal itu dilakukan atas dasar paksaan. Bukan hal yang menyenangkan bagi Patsy untuk mendapatkan tugas lebih seperti itu. Apalagi, istri Tuan Epps (Sarah Paulson), sangat mencemburuinya, bahkan sering berbuat kasar padanya karena suaminya lebih perhatian padanya.






Pernah suatu malam, Tuan Epps membangunkan semua budak untuk berkumpul di dalam rumahnya. Mereka diajak berpesta dan disuruh menari, dengan Platt sebagai pemain biola, dan budak lain memainkan seruling. Tuan Epps menyuruh mereka semua untuk lebih semangat menari. Tentu saja Patsy lah yang paling bersemangat. Ia menari dengan lincah, memancing amarah Nyonya Epps karena melihat suaminya tak bergeming menatap Patsy menari. Dengan serta merta, Nyonya Epps mengambil sebuah botol minuman dari kristal tebal dan melemparkannya tepat di wajah Patsy. Patsy berteriak kesakitan. Tuan Epps dan Platt terhenyak menyaksikan kekasaran itu. Para budak hanya terdiam mendengar pertengkaran Tuan dan Nyonya mereka tentang menjual Patsy ke pertanian lain. Tuan Epps tetap pada pendiriannya, mempertahankan Patsy karena ia paling menguntungkan dalam memanen. Dan malam itu, Nyonya Epps sukses dipermalukan di depan para budak. Tuan Epps meminta para budak untuk melanjutkan menari. Ia tak ingin mood nya rusak karena insiden itu. Sementara itu, Patsy diseret kembali ke kamarnya.


Terompet pagi, menjadi pertanda semua pekerja harus bangun dan memulai hari. Di tempat Tuan Ford dulu berupa lonceng. Di ladang kapas, Tuan Epps sendiri yang mengawasi pemanenan. Ia mencambuki siapapun yang beerja dengan malas-malasan. Siangnya, Platt mendapat tugas khusus dari Nyonya Epps, yaitu mengambil belanjaan di Bartholomew. Nyonya Epps memberinya catatan belanja yang dilihat Platt sebentar, yang membuat Nyonya Epps mencurigai asal usulnya. Namun Platt meyakinkan Nyonya Epps bahwa ia hanya sedikit mengerti tulisan dan tak bisa menulis. Nyonya Epps kembali menegaskan bahwa Platt hanyalah budak yang dibeli untuk bekerja. Ugh… pasangan Tuan dan Nyonya ini sungguh menyebalkan deh.


Platt segera berangkat untuk mengambil belanjaan nyonyanya. Di tengah jalan, ia sempat memutuskan untuk melarikan diri. Akan tetapi, ia tersesat dan malah melihat dua orang budak yang akan digantung karena mencoba melarikan diri. Ia pun urung melakukannya. Setelah itu, ia menyadari bahwa belanjaan nyonyanya selalu ada kertas di dalamnya. Ia memutuskan, suatu hari akan mengambil kesempatan dengan selembar kertas itu untuk mengubah hidupnya.



Suatu hari di hari Sabbath, Patsy berkunjung ke rumah temannya, istri baru tuan Shaw, sesama pemilik perkebunan kapas di perkebunan sebelah. Nyonya Shaw (Alfre Woodard), dulunya juga budak. Sama seperti Patsy, ia mendapatkan kunjungan istimewa setiap malam, dan sekarang hidupnya berkecukupan. Platt bertugas menjemput Patsy, karena ia tidak ingin Patsy juga dirayu oleh tuan Shaw. Platt, Patsy dan Nyonya Shaw mengobrol sebentar sambil minum the layaknya sesame manusia merdeka. Saat Platt dan Patsy pulang, Tuan Epps sudah menunggu di beranda dalam keadaan mabuk. Platt tahu keadaan itu tidak akan baik untuk Patsy. Dengan sebuah bisikan, ia meminta Patsy untuk menyingkir. Tuan Epps marah karena mengira Platt menghasut Patsy. Platt mengelak melakukan hal itu. Tuan Epps hendak memukuli Platt, namun Platt selalu menghindar. Aksi kejar-kejaran mengitari kandang babi pun menjadi hiburan tersendiri di film yang menegangkan ini.



Tuan Epps bahkan membawa belati untuk melukai Platt. Karena ia mabuk, ia terjerembab di pinggir kandang. Ia menertawakan dirinya sendiri yang menodai hari Tuhan dengan kekerasan (Sabbath itu miik Yahudi apa Kristiani sih?) ia meminta tolong pada Platt untuk membantunya berdiri. Platt membantunya dan mendapat hadiah sebuah pukulan. Pertarungan tadi bisa jadi berlangsung kembali jika Nyonya Epps tidak muncul di sana. Nyonya Epps mengutuki suaminya yang bertengkar di hari Sabbath. Ia juga memaki kelakuannya terhadap Patsy. Tuan Epps mendengus kesal terhadap Platt yang seolah mengadukan dirinya pada istrinya.


Platt masih terjaga saat ia melihat Tuan Epps menyelinap dan membawa Patsy ke kebun belakang, dan memperkosanya di atas tumpukan kayu. Kali ini Patsy tidak bereaksi. Ia hanya diam saja seperti sebatang kayu. Tuan Epps yang tahu ia salah, malah marah melihat Patsy seperti itu. Ia menampar, mencekik dan memukuli Patsy yang tetap saja diam. Akhirnya, ia menyerah sendiri dan meninggalkan Patsy begitu saja setelah selesai dengan urusannya. Keesokan harinya, Plat mengutil selembar kertas dari belanjaan majikannya.


Pesta dansa masih berlangsung di rumah itu. Para budak masih di suruh menari. Kali ini tanpa semangat seperti sebelumnya. Tuan Epps sendiri hanya duduk diam dan melamun. Nyonya Epps membagikan kue pada semua budak kecuali Patsy. Ia menuduh Patsy meremehkannya di depan suaminya. Tuan Epps membela Patsy seperti biasanya, dan mendapat makian lagi dari istrinya. Kali ini, Patsy tidak mendapat lemparan botol, tapi sebuah cakaran yang menyakitkan di bekas lukanya. Tuan Epps tak mau menambah masalah, pergi meninggalkan ruangan itu. Nyonya Epps tersenyum puas dan meminta para budak lain makan sepuasnya. Mereka hanya menatap miris. Bagaimana bisa makan coba kalau suasananya sehoror itu. Aneh memang orang jaman dulu. Manusia kok disebut binatang. Patsy yang putus asa, membangunkan Platt di tengah malam. Ia memberikan sebuah cincin emas pada Platt, agar Platt mau membunuhnya dan membuang mayatnya di rawa-rawa. Tentu saja Platt tidak bersedia karena itu adalah tindakan gila meski mengatasnamakan belas kasihan. Platt dengan tegas menolak permintaan itu.




Suasana lain terjadi di perkebunan. Tanaman kapas diserang hawa ulat. Terpaksa, para budak dikirim ke perkebunan sebelah. Tuan dan Nyonya Epps menyalahkan hama itu sebagai kutukan dari para budak baru yang mereka beli. Lihat deh monolog Tuan Epps waktu memaki tanah perkebunannya, aneh sekali. Ia mengantar para budaknya ke perkebunan rotan milik Hakim Turner. Dan adegan di awal film pun diulang. Berikutnya, Hakim Turner yang mengetahui bakat Platt, meminta Platt untuk bermain biola di sebuah pesta pernikahan, dan ia boleh mengambil upahnya. Tentu saja Platt senang sekali. Ia mempersiapkan biolanya, dan mengukir nama istrinya dan kedua anaknya di biola itu. Platt bermain dengan baik di pesta itu.

12 Years A Slave Part 1

Menonton film ini, membuatku merasa bersyukur, betapa kemerdekaan itu sungguh membahagiakan. Rezeki hidup merdeka, seringkali terlupa, tertutupi keinginan untuk terus menumpuk harta dunia. Saya harus sangat berterima kasih pada para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan Negara kita. Andaikan sampai saat ini kita masih dijajah, mencari uang akan susah, beribadah susah, bahkan berbicara saja susah. Merdeka, berarti segalanya.

Bersetting Amerika lama, film ini menyuguhkan penderitaan yang nyata ada, sekaligus pemandangan pedesaan yang indah tiada tara (menurutku sih, tapi tetap lebih indah pedesaan kita hehehe). Amerika yang menklaim negaranya sebagai Negara paling beradab, tahun 1800-an masih melegalkan perbudakan. Padahal, mereka menuduh perbudakan itu bar-bar. Kita, bangsa yang dijajah, perbudakan ada di tahun sebelum masehi, zamannya kerajaan Ken Arok dan kawan-kawan. Itu pun menurut sejarahnya, perbudakan sudah mulai dihapuskan. Jadi, patutlah kita bangga pada bangsa sendiri, karena sebenarnya, kita jauh lebih beradap.




Diilhami dari sebuah kisah nyata, yang telah dituangkan dalam sebuah biography sekitar tahun 1800-an. Adegan awal dimulai dengan sebaris orang-orang kulit hitam berwajah pasrah, hanya satu diantara mereka yang ekspresinya menahan amarah. Dia adalah Solomon Northup, tokoh utama dalam film ini, diperankan oleh Chiwetel Ejiofor. Solomon adalah seorang Afro-Amerika merdeka (bukan budak) yang bekerja sebagai tukang kayu professional sekaligus seorang pemain biola yang berbakat. Ia menjalani kehidupannya sebelum bercerita, sebagai seorang budak yang tinggal di rumah pertanian dan peternakan. Hidup satu ruangan campur lelaki dan perempuan, membuatnya putus asa. Ia tak lagi bernafsu pada dunia. Bahkan, ketika ada budak latin berusaha menggodanya, ia hanya diam, mematung, mati rasa. Keinginannya hanya satu, mengirim kabar pada keluarganya, bagaimanapun caranya. Adegan awal saat Solomon makan berry, ia sadar berry itu bisa jadi tinta. Ia hendak menulis, tapi merasa frustasi dan membatalkannya.

 



Ia mengingat keluarganya. Istrinya yang manis, dua anaknya yang menyenangkan. Dulunya, mereka hidup bersama dengan bahagia di Saratoga Spring, New York. Hari itu, hari terakhir ia bertemu dengan keluarganya, adalah saat ia mengantar istrinya naik kereta kuda, hendak menuju ke rumah orang tuanya. Ia sendirian di rumah, didatangi oleh dua orang kulit putih yang diperkenalkan oleh temannya. Mereka menawarinya bekerja sebagai pemain biola di sebuah sirkus tingkat internasional selama dua minggu, dengan tawaran gaji yang sangat menggiurkan. Solomon pun tergoda, dan ia bersedia ikut bersama kedua orang itu, ke Washington, untuk makan dan minum-minum hingga mabuk. Ia terbangun dalam keadaan bingung. Tangan dan kakinya ter-rantai. Ia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Ia muntah, lalu tidur di sebuah kamar hotel, dan tiba-tiba, bangun di lantai, dengan setelan jas yang sudah terlucuti, dan kaki serta tangan dirantai.



Seseorang masuk ke dalam ruangan tempat ia terbangun dengan bingung. Solomon tahu ia diculik, dan hendak menjelaskan pada orang yang datang itu, bahwa ia bukanlah budak. Ia adalah Solomon Nothup dari Saratoga, yang seluruh penduduknya adalah orang merdeka. Orang kulit putih di hadapnnya dengan sinis berkata, bahwa mulai sekarang, Solomon bukan lagi orang merdeka. Ia diberi identitas baru sebagai budak pelarian dari Georgia. Dan sebagai bukti bahwa Solomon itu diperbudakkan, orang kedua yang ikut masuk, menarik ujung rantai hingga Solomon terjerembab dalam posisi merangkak. Dengan kejinya, orang yang pertama memukuli punggungnya dengan tongkat kayu. Solomon berteriak kesakitan. Tetap bersikeras bahwa ia orang merdeka, Solomon mendapat tambahan cambukan dari ikat pinggang kulit. Bekas luka itu, cukup menjadi tanda bahwa ia benar-benar budak sekarang. Karena, orang merdeka tak akan mendapatkan perlakuan seperti itu. Orang itu terus memukuli Solomon hingga kelelahan dengan sendirinya. Solomon tak tahan lagi. Ia jatuh berguling, menangis kesakitan. Ia mengintip dari jeruji di ruangan itu, berteriak minta tolong pada siapapun yang mendengarnya. Gedung putih terlihat menjulang di seberang. Lambang sebuah ketidakadilan, dari dulu hingga sekarang.



Orang kedua yang menarik rantai masuk kembali, membawa sedikit makanan dan pakaian. Ia meminta baju Solomon yang telah koyak, diganti dengan kain blacu yang kasar. Kemudian, ia dusuruh mandi, bersih-bersih diri dengan ember dan air seadanya.  Mereka yang mandi, semua punya bekas luka dipunggung. Kecuali seorang anak kecil, yang terus merengek meminta kedaatangan ibunya. Solomon mendiamkan anak itu, takut ia akan mendapat pukulan juga jika terus merengek seperti itu.


Kemudian, ia dikumpulkan bersama budak-budak lain yang memang budak, yang akan dijual bersama. Solomon dan kawan-kawan, di naikkan ke dalam kereta barang, ditutup dengan kain terpal, menuju ke pelabuhan. Tiga lelaki dewasa, dua anak, lelaki dan perempuan, bersama Eliza, ibu mereka, meringkuk sekenanya di atas peti barang. Mereka naik kapal, bersama budak-budak lain yang sudah ada di kapal. Solomon membuka pembicaraan tentang kemungkinan memberontak. Tapi, karena yang lain kebetulan memang terlahir sebagai budak, tidak punya pemikiran lain kecuali pasrah. Kecuali, perasaan tidak terima karena hendak dijual kembali. Satu-satunya nasehat yag Solomon ingat adalah, tidak gegabah, dan tidak banyak bicara. Terbukti, budak yang protes, mulutnya dirantai.

Kapal pun semakin berjalan menjauh, menuju New Orleans. Tengah malam, seorang kulit putih yang mabuk mendekati Eliza, hendak memperkosanya. Budak yang tadi mulutnya dirantai, tidak terima dan hendak menolong Eliza. Dengan entengnya, ia mendapatkan tujukan bertubi-tubi di perutnya. Sambil melarung mayat budak itu, Solomon mendapatkan pelajaran lagi, untuk terus bertindak hati-hati.




Setibanya di pelabuhan berikutnya, Solomon memperhatikan sekitarnya. Para kulit hitam yang menjadi budak, para kulit hitam yang berjalan-jalan merdeka bersama keluarganya. Ia jadi ingat pada keluarganya, yang berjalan-jalan, mengunjungi toko langganannya milik Tuan Parker yang sekaligus adalah kawannya. Saat namanya dipanggil, ia tak menggubris, karena ia dipanggil dengan sebutan “Platt”, sebuah nama budak untuk dirinya.




Ia disuruh bersih-bersih lagi. Kali ini, campur lelaki perempuan. Tujuan dari bersih-bersih itu adalah, para budak akan dipajang, dalam keadaan telanjang, untuk dipilih oleh para pembeli. Seperti dagangan ternak, ditepuk-tepuk, dicubit, dan sebagainya. Platt (Solomon), nanti aku tulis Platt saja ya, dipilih oleh seorang pemilik peternakan bernama William Ford (Benedict Cumberbatch). Tuan Ford memilih Platt dan Eliza. Namun, Eliza berkeras ingin dibawa bersama anak-anaknya. Hanya saja, pedagang manusia itu tidak menjual paketan, jadi tuan Ford harus membayar sangat mahal jika ingin membawa anak-anaknya. tuan Ford tidak berani. Uangnya tidak mencukupi. Terpaksa, Eliza diseret menjauh dari anak-anaknya. jerit tangispun memenuhi ruangan itu. Kalut, Platt memainkan biola yang ada di meja belakangnya.







Sepanjang jalan, Eliza menangisi anak-anaknya. Platt hanya termangu menyesali nasibnya. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana. Nyonya Ford menanyakan mengapa Eliza menangis. Tapi ya… begitu saja. Seperti barang, sudah dibeli yang sudah, tak ada urusan lagi dengan perasaan. Bersama dengan para budak lain yang dimiliki Tuan Ford, Platt bekerja sebagai tukang tebang pohon, dipimpin oleh seorang tukang kayu bernama John Tibeats (Paul Dano). Awalnya, Tibeats adalah orang yang menyenangkan. Ia menyemangati para pekerjanya dengan lagu “run niger run”. Platt memandangi rawa-rawa di sekitar, dan menyampaikan idenya untuk menghemat waktu, tenaga dan biaya. Platt bercerita bahwa ketika ia menjadi tukang kayu dulu, ia membawa kayu gelondongan melewati sungai, jadi lebih praktis. Ia pun mencontohkan bagaimana membawanya. Semua terpesona, termasuk Tuan Ford sendiri, ia senang memiliki budak berbakat. Dari situlah awal kedengkian Tibeats padanya.







Platt memarahi Eliza karena masih terus menangis. Eliza mencibir Platt karena tidak tahu rasanya menjadi seorang ibu yang terpisah dari anak-anaknya. Apalagi, sekarang Platt adalah kesayangan Tuan Ford, pastinya ia merasa lebih senang. Eliza menasehati, bagaimanapun, Tuan Ford adalah pelaku perbudakan. Sebaik apapun, ia tidak akan melepaskan Platt meski ia bercerita tentang identitas aslinya. Dan Eliza benar. Tuan Ford, bertindak sebagai pengkhutbah, mengajari Kristiani pada budak-budaknya setiap minggu pagi. Eliza masih terus menangis mengganggu suasana. Akhirnya, Eliza dijual kembali. Platt memulai tugas lain, membangun sebuah gubuk, dengan Tibeats sebagai pengawasnya. Tibeats yang dengki, mulai membuat gara-gara. Ia marah-marah tanpa sebab, menyalahkan ini itu, dan tidak terima jika Platts menjawab kemarahannya. Ia pun memukul Platt. Spontan, sebagai orang merdeka, Platt membalas pukulan itu, dan berhasil memojokkan Tibeats. Tibeats pun semakin dendam kepadanya. Ia pergi, untuk kembali lagi, berkuda bersama dua orang temannya, menyeret Platt ke sebuah pohon besar, hendak menggantungnya di sana. Tapi, mandor perkebunan keburu datang dan menggagalkan pembunuhan itu. Ia menembakkan senapan, membuat Tibeats dan kawan-kawannya lari dengan sumpah serapah di mulut mereka. Mandor itu tidak melepaskan tali gantungan. Dan tidak berniat melakukannya, karena ia tahu Platt tidak akan mati. Ujung jarinya masih menyentuh bumi. Dengan kepayahan, Platt mempertahankan posisinya, agar ujung jari kakinya tidak terpeleset di tanah yang becek, hingga ia tergantung dengan sendirinya. Platt dalam posisi seperti itu, dari pagi, hingga malam menjelang, tak ada budak lain yang berusaha menolongnya. Mereka takut karena mandor perkebunan terus mengawasi mereka. Tapi, diam-diam, ada seorang budak yang memberinya minum. Menjelang malam, Tuan Ford pulang, dan melihat Platt yang berayun di pepohonan. Ia memutuskan tali dan membawa Platt ke dalam rumah untuk sedikit perawatan. Sambil berjaga-jaga, karena ia tahu Tibeats masih mengintai di sekitar. Platt bercerita tentang identitas aslinya. Dan seperti kata Eliza, Tuan Ford tidak mau dengar. Ia sudah banyak hutang karena membelinya. Maka, demi keselamatan Platt, ia akan mengirimnya ke Tuan yang baru, pemilik perkebunan kapas.