Pi di bawa ke rumah sakit terdekat. Ia menjelaskan pada Yann Martell mengapa ia menangis. Ia menyesali setiap perpisahan yang tak sempat ia ucapkan selamat tinggal. Ia juga ingin menyampaikan rasa terima kasihnya pada ayahnya yang telah memberinya banyak pelajaran yang sangat berharga untuk bertahan hidup. Namun semua itu sudah terlambat. Ia tidak punya kesempatan.
Pi menunjukkan dokumen penyelidikan dari pihak asuransi kapal Tsimtsum. Dua orang Jepang mengunjunginya di rumah sakit di Meksiko. Mereka menanyakan penyebab kapal tenggelam. Pi pun menceritakan ceritanya dari awal sampai akhir. Mereka tidak percaya dan kelihatan tidak suka dengan cerita tidak masuk akal tentang harimau benggala dan pulau carnivora, karena itu tidak ada hubungannya dengan penyebab kapal tenggelam. Pi pun menceritakan cerita lain yang tanpa hewan dan pulau fantastik. Ini versi bukunya:
Aku berusaha sekuat mungkin untuk terus berenang. Baru kali ini aku berenang secepat dan sekalut itu. Akhirnya aku berhasil naik ke sekoci. Di sana sudah ada tukang masak kapal dan seorang kapten kapal yang dari Taiwan. Tukang masak itu melemparkan pelampung padaku dan membantuku naik. Kami melihat kapal tenggelam begitu cepat. Aku melihat ibuku selamat berkat tumpukan pisang yang mengambang. Kami pun menaikkannya ke sekoci. Ternyata kapten kapal itu patah kakinya. Patah di bagian tulang paha dan patahannya mencuat keluar menembus daging. Kami mengarungi samudra dengan perbekalan yang cukup untuk beberapa hari berharap akan ada pertolongan yang datang. Dua hari berlalu, aku dan ibuku sudah lemas karena mabuk laut. Kapten kapal terus mengerang dan merintih dalam bahasa yang tidak kami mengerti. Ibuku terus merawat lukanya sejak awal. Tukang masak sering marah-marah tak karuan. Pada suatu hari, ibuku mendapati kalau persediaan biscuit habis, padahal semalam masih ada. Tukang masak mengaku memakannya. Ibupun marah mendengarnya. Tapi kemarahannya mendiam saat ia tahu akupun semalam ikut memakannya. Kamipun berdamai kembali.
Luka kapten kapal mulai membusuk. P3K kami hanya seadanya. Banyak lalat mengerubuti lukanya. Ibu membersihkan nanahnya setiap hari. Tukang masak membisiki kami bahwa luka itu telah terinfeksi, dan bisa menular pada kami. Kami harus memotongnya, demi si kapten dan demi kami sendiri. Aku dan ibu memegangi si kapten agar tidak berontak saat eksekusi. Tukang masak bertindak efisien memotong kakinya sebatas paha. Teriakannya seperti hewan yang disembelih. Darah muncrat ke mana-mana. Ajaibnya, kapten kapal itu tidak pingsan. Kami mengikat luka potongannya dengan kain kuat –kuat. Ibuku langsung menjauh, tidak tega melihatnya. Tukang masak itu masih tetap sadar. Ia merintih, menangis dan meracau. Tak bisa kubayangkan betapa dahsyatnya rasa sakit yang ia tahankan. Malam berikutnya, ia meninggal di pelukan ibu. Meninggal dalam sunyi dan diam. Rintihan dan raungannya berhenti. Sekoci pun senyap. Paginya, aku hendak membuang potongan kaki kapten kapal karena baunya sangat busuk. Tapi tukang masak melarangku. Ia ingin menjadikannya umpan untuk memancing. Ibuku marah mendengarnya dan mengatainya biadab. Tukang masak itu tak peduli. Ia mulai menyayat daging potongan kaki itu, tapi marah-marah karena dagingnya sudah busuk dan hancur begitu masuk air. Kaki itupun dilemparnya ke laut. Kalap, ia mencincang tubuh kapten kapal untuk dijadikan umpan. Aku dan ibuku menyingkir dengan ngeri. Persediaan makanan kami memang habis. Dengan umpan tubuh kapten kapal itu, tukang masak memberi kami makan penyu, hiu dan ikan-ikan lain. Ibu pun mulai berbaikan dengannya. Bagaimanapun, ia menjaga kami tetap hidup.
Suatu hari, ketika akan memancing, ibu melihat tukang masak itu tidak hanya menaruh irisan daging kapten kapal di ujung kail, tapi juga memasukkannya ke mulutnya. Ibuku jijik melihatnya. Ia tidak menyangka bahwa tukang masak itu akan tega memakan daging manusia. Dengan entengnya, tukang masak itu hanya menjawab bahwa rasanya mirip daging babi. Ibu pun marah sekali dan menamparnya. Mereka bertengkar hebat. Ibu menyuruhku lompat ke rakit yang dibuat tukang masak untuk mempermudahnya memancing. Aku pun lompat. Aku melihat ibu di banting ke lantai sekoci oleh tukang masak yang mengacungkan pisau. Sekilas kulihat pisau itu sudah berlumuran darah. Aku shock dan ngeri, hanya bisa meringkuk ketakutan di rakit. Tiba-tiba, tukang masak itu melemparkan sesuatu padaku. Kepala ibuku. Aku terkesiap dan melemparnya begitu saja ke laut. Rambutnya yang panjang bergerak-gerak seperti ekor saat kepala itu tenggelam, dan menarik perhatian seekor hiu yang langsung mencaploknya. Berhari-hari aku di rakit tanpa makan minum. Aku melihat tubuh ibuku di lempar ke laut dan langsung tenggelam. Karena lapar, aku kembali ke sekoci. Tukang masak menyambutku dengan biasa saja. Sepertinya ia agak merasa bersalah padaku. Ia memberiku makan seperti biasanya.
Hari itu, aku tiba-tiba marah padanya dan menyerangnya. Aku begitu jijik dengan manusia itu. Ia pasrah saja saat ku serang. Tidak membalas sama sekali. Ada pisau di atas bangku. Aku tahu ia yang meletakkannya. Ia bisa saja meraihnya jika ia mau, seperti halnya ia bisa saja memutus tali rakitku jika ia mau. Tapi tidak. Aku meraih pisau itu dan menghunjamkan ke tubuhnya berkali-kali. Ia mati di tanganku. Tidak ada pulau di cerita yang ini.
Petugas asuransi melongo mendengar cerita mengerikan itu. Begitu pula dengan Yann Martell yang diceritani berikutnya. Dua cerita, ada hewannya dan versi manusia. Dua-duanya tetap tidak menjelaskan penyebab kapal karam. Pi menanyakan pada petugas asuransi dan Yann Martell, meski cerita itu tidak bisa menjelaskan apapun, kalau diminta memilih di antara dua cerita itu, mana yang mereka pilih, mereka menjawab yang ada hewannya saja. Pi pun menguatkan pilihan mereka dengan perkataan bahwa Tuhan pun lebih menyukai cerita yang ada hewannya. Well, terdengar lebih manusiawi dan tidak melukai batin sih dibanding cerita yang versi manusia, yang pastinya akan menyayat hati luar biasa dengan kengerian yang ditimbulkannya. Tuhan juga pasti memilih cerita yang ada hewannya, begitu menurut Pi.
Yann menutup cerita ini dengan berkata bahwa akhirnya cerita ini berakhir indah. Pi sekarang hidup bahagia dengan keluarga mungilnya.
Note: Film ini memang indah dipandang mata. Cerita perjuangan hidup yang menakjubkan. Tapi, keindahan itu menghapus fakta korban kapal karam yang ketakutan. Ketakutan yang dominan di buku tertutupi keindahan pemandangan yang di tampilkan. Laut yang panas dan menyilaukan saat siang, berubah drastis jadi super dingin dan gelap pekat saat malam, teror mental yang luaar biasa. Tidak ada yang seperti itu di film ini. Hanya ada petualangan yang seolah terlihat menyenangkan. Untungnya, dengan begitu, film ini jadi bisa ditonton anak-anak. Beberapa mungkin malah membayangkan bisa menjelajah samudra dengan kapal mungil yang berjalan pelan-pelan hingga bisa menyerap seluruh keajaiban alamnya. After all, film ini layak banget untuk ditonton.