Minggu, 21 Juli 2013

Life of Pi part 8


 
 

Bulan pun berganti, persediaan makanan sudah habis. Pi dan Richard Parker kekurangan nutrisi. Pi terlalu lemah untuk menangkap ikan tubuhnya tinggal kulit membalut tulang. Begitupun Richard Parker. Mereka hanya terbaring lemah di perahu, bersama-sama tanpa saling mengganggu. Di bawah perahu terlihat jelas penyu besar dan beberapa hiu, termasuk hiu paus, berenang perlahan. Di buku sepertinya Pi makan dan minum hiu dan penyu deh, lupa-lupa ingat sih. Pi menggumamkan barisan angka panjang bilangan Pi, 3 koma blab la bla saat malam tiba. Ia bertanya pada Richard Parker, mengapa ia terus memandangi lautan dan apa yang ia lihat.

 
 
Richard Parker hanya menoleh sebentar lantas melanjutkan mengamati air. Pi pun ikut melongokkan kepalanya ke laut. Ia tahu sekarang apa yang dipandangi Richard Parker. Kedalaman lautan saat malam membiaskan bayangan mengerikan .  Ikan-ikan besar, cumi raksasa yang melilit paus besar, lalu tiba-tiba paus itu terberai menjelma hewan-hewan kebun binatang yang langsung  di sambar hiu. Ada ikan dasar lautan yang seolah muncul ke permukaan memamerkan taringnya, barisan plankton bercahaya membentuk wajah ibunya (atau Anandi ya?) dan bayangan-bayangan lain yang menyeramkan. Pi pun terkesiap dan menatap Richard Parker yang balas menatapnya. Mereka sudah seakan menjalani simbiosis mutualisme, jadi Pi tidak takut di serang lagi.
Pi pun menyerah. Ia berhenti memutuskan untuk melupakan semuanya. Ia berdamai dengan hidup setelah menjalani hari-harinya yang sulit. Ia menuliskan keputusannya itu di bukunya. Bukan bukunya yang habis duluan hingga dulu ia menulis kecil-kecil. Ternyata pensilnya yang keburu habis-bis sampai ke batas penghapusnya.
Pi mengamati sekitar dan mendapati ada awan tinggi berbentuk seperti jamur di batas cakrawala. Itu awan badai. Sebentar lagi aka nada badai lagi, dan sepertinya akan dahsyat.
Terbukti, badai itu datang juga. Pi mengetatkan ikatan rakitnya dan naik ke perahu untuk berlindung. Ombak besar menggulung dan menerjang mengombang-ambingkan perahu mungil mereka.

Ia harus berlindung di dalam terpal. Daripada mati karena badai yang sudah ia lewati berkali-kali, sekarang ia menyerah dan memilih untuk berlindung meski harus mati di terkam harimau.
Untungnya, Richard Parker mabuk laut karena guncangan perahu. Pi berusaha menutup terpal dengan susah payah. Petir besar dan membutakan mata menyambar menggelegar di permukaan laut. Salah satunya mengenai air di sebelah perahu. Cahayanya pecah menyambar air laksana akar pohon yang merambat. Pi meringkuk ketakutan, lalu mulai menikmati alam. Ia pasrah jika harus mati hari ini.
Ia pun mulai membuka terpal satu persatu, mengajak harimau itu menikmati badai. Sayangnya, Richard Parker ketakutan dan meringkuk di pojokan saat petir menyambar. Ia protes pada Tuhan karena menakuti temannya. Ia berteriak- teriak kegirangan bisa merasakan langsung badai sedahsyat itu, sambil menyerukan ayat Al Qur’an surat Alfatihah ayat 1-4.
Badai semakin dahsyat. Pi masuk ke terpal, menutup terpalnya dari dalam, tapi sulit karena harusnya hal itu dilakukan dari luar. Badannya  penuh lebam dan gores. Ia harus mempertahankan pegangannya supaya tidak tersuruk ke sana ke mari. Berkali-kali ia bersenggolan dengan Richard Parker yang terombang-ambing.
Tanpa terasa, badai berlanjut hingga pagi. Richard Parker tampak kepayahan berbaring di bangku. Air masih menetes-netes dari tubuhnya. Tubuhnya semakin kurus. Begitu juga dengan Pi.
Waktu berlalu hingga berbulan-bulan. Pi terlalu lemah untuk mencari makanan. Ia tak lagi mampu berbuat apapun, hanya berbaring di terpal perahu. Rakitnya menghilang tersapu badai. Richard Parker juga sudah tak mampu bangkit berdiri. Pi menangisi Richard Parker yang kelaparan dan menyalahkan dirinya karena tak mampu lagi merawatnya. Ia mengelus kepala Richard Parker. Hanya geraman pelan yang menjawab bahwa ia rela disentuh. Pi pun meratap sambil meletakkan kepala Richard Parker di pangkuannya. Ia siap mati bersamanya sekarang.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar