Begitu pula yang tejadi dengan Pi. Namanya, Piscine, dipelesetkan menjadi Pissing. Ia pun jadi bulan-bulanan teman-teman di sekolahnya. Ia adalah anak yang rajin membaca. Saat ia kecil, bacaannya cerita-cerita petualangan. Yang di film sih karyanya Jules Verne, jadi ingat pendongeng seperti Jules Verne, yaitu Edgar Allan Poe yang menulis tentang korban kapal karam bernama Richard Parker dan dongeng kapal karam lain di sekitar tahun 1800an itu yang korbannya bernama Richard Parker. Mungkin Yann Martell terinspirasi cerita-cerita itu.
Okay, kita kembali ke Pi kita. Selama ia di sekolah dasar, ia selalu diejek dengan Pissing. Bahkan gurunya pun pernah dengan sengaja melakukan itu padanya. Akhirnya ia memutuskan untuk berkenalan dengan cara baru saat di sekolah menengah. Tahun pertama, ia selalu mengenalkan dirinya hanya dengan Pi saja, bukan Piscine. Ia bahkan menerangkan riwayat namanya yang merupakan bahasa matematika. Dan ia berhasil meyakinkan teman-temannya dengan menuliskan angka Pi yang sangat panjang di belakang tiga koma.
Yann mengulang tujuannya menemui Pi. Ia dijanjikan akan mendapatkan cerita yang menajubkan, yang akan membuatnya yakin akan keberadaan tuhan. Pi mengatakan , ia hanya akan bercerita, percaya atau tidak silakan tentukan sendiri.
Lalu, cerita petualangan pun dimulai. Ia memulai dengan bercerita tentang tempat asalnya, Pondichery, yang indah. Gedung-gedung ala Perancis (karena memang daerah koloni Perancis), tempat dekat laut, sebelah sana perkampungan Hindu, sebelah sananya lagi perkampungan Muslim, dan sebagainya.
Ia juga bercerita tentang keluarganya. Ayahnya adalah seorang pengusaha. Ia mendirikan sebuah sebuah kebun binatang dengan meminjam tanah pemerintah. Kebetulan ibunya ahli tanaman dan suka berkebun. Mereka pun bertemu, kemudian menikah.
Ini kebun binatang dilihat secara keseluruhan. Indah sekali bukan?
Setahun setelah menikah, kakak Pi, Ravi Patel, lahir. Pi lahir dua tahun setelah kakaknya. Sejak kecil, Pi selalu mendapat dongeng sebelum tidur dari ibunya. Ibunya penganut Hindu, jadi ia sering mendapat cerita tentang kisah dewa-dewa. Ia terpesona pada cerita Krisna, hingga ia sering diam-diam membacanya sendiri dengan bantuan senter kecil di balik selimut saat Ravi sudah tidur.
Sedangkan ayahnya penganut paham modern. Ia tidak percaya pada hal-hal yang tidak masuk akal. Saat Pi terpesona pada perayaan keagamaan yang di shoot dengan sangat cantik di sini, ayahnya justru mengatakan bahwa agama adalah kegelapan, jangan tersesat di dalamnya. Mungkin, maksudnya jangan fanatik buta, gitu. Jadi, perkenalan Pi di dunia ketuhanan di mulai dari hindu.
Saat ia beranjak remaja, keluarganya berlibur ke Munnar, daerah perkebunan teh, tempat kerabat mereka. Tempatnya cantik sekali, seperti di dunia mimpi. Editan dan polesan sana sini sih, tapi peduli amat, bagus kok. Di sana, ia berkenalan dengan dunia keyakinan yang baru, dunia kristiani. Awalnya, karena kakaknya menantangnya untuk minum air suci di sebuah gereja. Meski ketahuan oleh Pendeta (Andrea di Stefano), tapi Pi tidak dimarahi. Pendeta itu malah menganggap Pi kehausan dan memberinya segelas air. Pi begitu terpesona dengan lukisan-lukisan Yesus yang digambarkan sedang mengorbankan dirinya demi umat manusia. Ia pun bertanya banyak hal pada pendeta itu dan dijawab dengan bijaksana menurut pemahaman anak seusia Pi. Sejak saat itu, Pi mulai meyakini adanya tuhan lain di dunia ini.
Sekembalinya ke Pondicherry, Pi merasa Tuhan lah yang mengatur perjalanan spiritualnya. Saat ia sedang berjalan-jalan di perkampungan muslim, ia melewati sebuah mesjid yang di dalamnya orang-orang sedang shalat berjamaah. Begitu tenang, teratur dan damai. Dari Islam akhirnya ia mengenal Allah yang Maha Esa, Maha Tunggal, kekuasaan mutlak, tidak dibagi-bagi pada anak atau apapun, karena Ia Maha Sempurna. Pi pun belajar shalat dan aturan dalam Islam.
Dari kaca matanya di usia itu, ia hanya berniat mempelajari, meyakini dan mempraktekkan, karena ia pikir, toh semuanya benar dan masuk akal, hanya saja beda cara. Intinya, ketiganya punya Tuhan yang mengatur segalanya. Ayahnya mengetahui itu, dan beliau tidak terlalu suka anaknya mencampur adukkan ajaran agama. Ia pun menasehati Pi untuk memilih salah satu saja saat mereka makan malam bersama, karena mempercayai semuanya sama saja dengan tidak percaya sama sekali. Akhirnya, Ia pun memutuskan untuk menjadi Muslim dan Kristiani sekaligus saat ia dewasa. Menurut Pi, mempercayai semuanya membuat rasa keimanannya lebih hidup (jangan di tiru lho ya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar