Di ruang makan bersama yang menyatu dengan dapur, Nyonya Patel memohon dengan baik-baik pada juru masak kapal (Gerard Depardieu) untuk memberi mereka makanan yang tidak berdaging. Karena memang tidak menyediakan itu, juru masak itu tetap memberi mereka makanan berdaging. Ia bilang, sapi yang mereka makan juga vegetarian, bahkan babi yang jadi sosis juga vegetarian. Lucu sih. Tapi yang menyebalkan, karena juru masak itu rasis. Ia berkata bahwa ia hanya memasak untuk para awak kapal, bukan untuk pemakan kari. What??? Awak kapalnya juga banyak yang Asia dan makan kari. Mungkin, lebih ke tidak suka pada orang dengan kulit berwarna kali ya? Tuan Patel pun naik pitam dan mencengkeram kerah si juru masak. Mereka hampir berkelahi jika tidak dilerai para awak kapal.
Keluarga Patel tidak jadi makan. Aslinya sih, kalau gak ada yang rasis dan gak panasan, Nyonya Patel bisa minta izin saja untuk pinjam dapur dan lihat apa ada yang bisa dimasak sesuai menu hariannya. Toh beliau bisa masak kan. Tapi ya itulah kesombongan orang berduit. Merasa sudah membayar, berarti ya harus dilayani. Padahal itu kan kapal barang, harusnya memang tidak melayani penumpang kan? Di buku, juru masak ini tidak diceritakan sekasar itu.
Mereka pun hanya minum air ditemani oleh kapten kapal yang ramah (yang nantinya diceritakan jatuh ke skoci dengan kaki patah, dongeng versi manusianya)
Pi dan ayahnya menengok hewan-hewan di bagian barang-barang. Beberapa hewan diberi obat penenang anti mabuk laut. Ayahnya hanya tidak ingin hewan-hewan itu sakit. Karena kalau hewan-hewan itu sakit, bisa menular pula ke keluarga mereka. Pi memakan beberapa pisang persediaan orang utan karena lapar. Saat itu, ia sadar bahwa meninggalkan India jauh lebih berat bagi ayahnya daripada bagi dirinya. Ayahnya seorang pengusaha, tidak pernah mengurus hewan-hewan itu sendiri sebelumnya.
Pi menceritakan hal itu pada Yann Martell di sebuah taman kota. Mereka duduk di bangku yang menghadap ke kolam. Ia menceritakan bahwa malam itu ia memutuskan untuk menjalani hidup yang sudah di anugerahkan oleh Tuhan.
Kapal Tsimtum terus melaju mengarungi samudra pasifik tanpa peduli medan. Setelah melewati daerah cekungan Philipina, sampailah mereka di daerah palung Mariana. Badai datang menghadang kapal mereka. Ombak tinggi menyapu dek kapal. Pi terbangun karena merasakan kapalnya bergoyang-goyang. Ia pun tersenyum karena senang bisa melihat badai di lautan. Ravi dan orang tuanya masih tidur. Ibunya terlihat tidur dengan gelisah. Ia membangunkan Ravi dan mengajaknya melihat badai bersama. Tapi Ravi tidak mau bangun. Pi pun keluar sendirian. Badannya terhuyung-huyung karena goyangan kapal.
Ia disambut terpaan hujan lebat saat membuka pintu kabin yang letaknya beberapa lantai di atas kamarnya. Ia pun melonjak kegirangan menikmati serangan hujan badai. Ia menantang alam untuk memberinya badai yang lebih dahsyat lagi sambil tertawa-tawa. Badannya tergelincir ke sana kemari mengikuti goyangan kapal. Ia tetap kegirangan tanpa menyadari bahwa tragedi sedang mengintainya.
Ia terpeleset sampai ke ujung pagar kapal. Ia mengamati badai dan wajahnya berubah menjadi ketakutan saat ia melihat ombak yang sangat tinggi menghantam bagian depan kapal dan airnya masuk memenuhi kapal. Pi pun panik. Ia ingat keluarganya masih tidur di lantai bawah yang pastinya sudah terisi air sekarang.
Bergegas ia lari menuruni tangga sambil memanggil ayahnya, ibunya, dan Ravi. Tinggal satu tangga lagi menuju kamarnya, tapi lantai itu sudah penuh dengan air. Pi mencebur dan berenang. Lampu kabin itu sudah mulai mati hidup- mati hidup. Ia kaget karena berpapasan dengan seekor zebra di lorong kabin. Ia berusaha membuka pintu kamar tapi tak bisa. Nafasnya sudah tidak cukup lagi. Ia pun kembali berenang ke atas, berharap keluarganya sudah menunggunya di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar